Translate

Rabu, 29 Januari 2014

Peri Gigi dan Realita



Saya paling anti kalau disuruh ke Dokter Gigi. Phobia dan khawatir teraduk menjadi satu ketika memahami bahwa satu jam kedepan saya akan duduk di ruang tunggu Dokter Gigi yang baunya aujubilah itu. Masuk ke ruang tunggu saja sudah menjadi momok. Giliran dipanggil namanya adalah mimpi buruk. Kaki lemas sudah pasti. Yang tadinya cuma gigi geraham yang sakit, pas dipanggil namanya mendadak semua gigi jadi linu. Jarak dua meter menuju pintu masuk ruang dokter berasa jalan 2 Km. Lama bener. 

Enggak tahu kenapa, Dokter Gigi adalah orang yang paling saya hindari. Apalagi jika mereka sudah pegang kaca bundar dan pengait. Saya paling tidak tahan sakit gigi. Tapi saya lebih tidak tahan suasana mencekam di ruang prakter dokter gigi. Lalu jika telinga sudah mendengar desis'an bor .. ziinnggg .. itu adalah saat-saat paling horor dalam hidup saya. 

Lalu ada sebuah lagu yang liriknya "lebih baik sakit hati, daripada sakit gigi", ah itu bohong. Kalau sakit hati lalu nangis bombay sambil dengerin lagu galau, lama-lama kan capek nangis terus otomatis ngantuk dan tertidur. Nah kalau sakit gigi, pake acara nangis bombay sampai se'jerigen juga nggak bakalan ngantuk. Yang ada adalah insomnia sambil ngelus-ngelus rahang. 

Masalah gigi yang selalu saya alami adalah gigi berlubang. Letaknya pasti di gigi geraham. Bagian gigi yang paling sakit jika terjadi perlubangan. Saya lupa kapan pertama kali ke Dokter Gigi. Yang jelas, saya membenci dokter gigi pertama saya. Benci sekali. Saya selalu menaruh curiga jika dokter gigi masa kecil saya bersikap baik kepada saya. "Ah sok baik, palingan mau nge'bor gigi saya kan," batin saya kala itu. Namanya juga anak kecil, aksi tutup mulut rapat-rapat pun menjadi pilihan.

Kejadian paling menarik dan masih membekas hingga sekarang adalah aksi kejar-kejaran dengan si dokter gigi. Saya dibohongin oleh orangtua, karena katanya dokter gigi itu menyenangkan. Nyatanya pas gigi saya diperiksa dan terasa senut, otomatis saya teriak dan gigi saya katup erat-erat. Alhasil, gusi saya berdarah karena entah kait atau bor yang tergigit mengenai area itu. Setelah peristiwa itu, kamipun (saya dan om dokter) saling kejar-kejaran mengelilingi kursi periksa bak film Bollywood. Bikin trauma sampai sekarang.

Kini jika disuruh ke Dokter Gigi, saya masih pikir-pikir. Perpaduan suara bor, gesekan antara bor dan gigi, serta rasa ampas gigi yang unik dan nggak ada matinya itu lalu diakhiri dengan rasa senuuuuuttttt panjang sampai ke ubun-ubun, membuat saya bergidik duluan. Enggaaaaakkkkkkk mauuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!!!

Lalu saya membayangkan alangkah indahnya jika ada peri gigi di dunia ini. Tinggal goyangkan tongkat, masalah gigi selesai. Tapi realitasnya hanya ada dokter gigi yang bisa mewujudkan gigi sehat. Akhirnya saya harus memilih realita jika ingin hidup damai tanpa cekat cekot di bawah kuping.  Yang jelas saya harus minta anestesi lokal.

Ada nggak Dokter Gigi yang bisa nambal gigi tanpa harus nge'bor.






Ngelus-elus pipi, kapan kamu sembuh gi

Atha Ajo   

 

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar