Translate

Senin, 29 September 2014

Main-main di pinggir hutan primer



Sebetulnya jalan-jalan di tengah hutan mana aja rasanya sama. Rimbun, mencekam sekaligus mempesona. Apalagi jika hutan yang dijelajahi masih termasuk hutan primer. Yang saya takutkan jika sedang jelajah hutan adalah kalau ada ular yang tiba-tiba nongol. Terus saya mau lari kemana coba.  Minimal dicucup lintah lah.

Menjelajahi "hutan" memang sudah pernah saya lakoni meski "hutannya" berupa kawasan enklosure atau kandang alami buatan, yaaa mirip-mirip hutanlah, yakni Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup (KWPLH) Balikpapan. Tapi yakin deh, meski cumak enklosure, saya belum nemu kayak begini di Jawa. Letaknya di Jalan Soekarno Hatta Km. 23. Tapi kali ini saya nebeng bojo yang sedang tugas menjenguk pinggiran hutan hujan tropis dataran rendah. Hutan beneran. Berdasarkan vegetasi masih termasuk hutan primer alias alami alias perawan.  Masih thing-thing. 

Hutang primer yang saya kunjungi adalah Taman Nasional Kutai (TNK) yang luasnya 200.000 Ha. Meskipun masih perawan, hutan yang mencakup tiga wilayah yakni Kota Bontang, Kabupaten Kutai Timur dan sedikit Kabupaten Kutai Kartanegara ini masih tetap bisa dinikmati oleh turis. Nggak perlu khawatir babat-babat alas, karena Pemerintah Pusat dibawah Kementerian Kehutanan sudah menyediakan kawasan wisata Sangkima yang menjadi teras terluar dari TNK untuk para turis yang ingin menikmati sejumput hutan perawan ini. 

Menuju kemari cukup mudah karena letak kawasan ini ada di ruas jalan Bontang-Sangatta. Dari Kota Bontang hanya ditempuh sekitar 1 jam 30 menit. Harga tiket masuk ke kawasan wisata Sangkima ini juga tak mahal. Kami berlima hanya diminta membayar Rp35.000 saja. Jangan khawatir perut lapar, karena di luar kawasan sangkima ini ada satu warung yang menjual makanan seperti soto dan nasi kuning. Tapi saya berasa di Pantura ketika duduk di warung ini karena penjualnya memutar musik koplo keras-keras.  

Ada dua pilihan trek untuk menikmati hutan hujan tropis dataran rendah ini. Trek gembira atau trek uji nyali. Ya kalau datang bersama keluarga dan anak-anak, cukup lewat trek gembira yang jalan setapaknya dari papan-papan kayu yang dijejer. Jadi aman. Tapi kalau mau menantang nyali, silahkan pakai trek sling. Trek ini hanya berupa jalan tanah yang kalau hujan pasti becek dan sepulangnya pasti mendapat kenang-kenangan dari cucupan lintah. Jembatan untuk menyeberang sungaipun hanya berupa kabel sling baja ala Indiana Jones. Saya sih belum sempat mencobanya karena kawan saya bawa anak, jadi pilih trek gembira saja.  

Sebetulnya apa sih yang menarik dari hutan ini? Ya kalau orang yang sukanya piknik ke mall kayaknya nggak bakalan tertarik liat hutan. Karena selain cumak liat pepohonan rimbun juga nggak bisa pakai sepatu jinjit. Tapi bagi saya menjelajahi hutan ini seperti terlempar ke bagian Bumi puluhan juta tahun lalu. Trus tiba-tiba ada dinosaurus sama kadal raksasa. Ah kebanyakan nonton Cosmos. Untung nggak liat ular .. hiiiii. Salah satu yang membuat saya termenung adalah ketika saya memeluk pohon ulin raksasa yang umurnya 1000 tahun. Bangganya bukan main. 




Courtesy of Bonifasius Widyo Baskoro. Menuju ulin ini, saya harus berjalan sekitar 1 Km. Enggak melelahkan kok. Malah paru-paru saya terisi penuh oleh oksigen. Bebas dari asap knalpot.



   

   
Ulin ikonik dan fenomenal ini memiliki diameter sekitar 225 cm atau keliling 706 cm dengan volume 150 m3. Nah ulin ini tercatat sebagai pohon ulin tertinggi dan terbesar di Indonesia. Saya sudah selfie di samping pohon ini.

Sebelum masuk ke dalam hutan, Bojo memperingatkan saya untuk memakai aut*n agar tidak digigit serangga. Paling tidak enggak kena lintah. Jangan salah. Lintah disini ada dua macam. Lintah yang kalau ngisep darah nggak berasa diisep dan lintah yang sekali tempel sakitnya minta ampun. Lintah yang kedua ini biasanya hidup di daun. Jadi meski arah mata kita tertuju di bawah untuk menghindari cucupan lintah darat (kok lintah darah sih), jika bagian lain tubuh kita  kemana-mana, itu akan menjadi incaran mangsa si lintah daun .. auooooo.

Sayangnya pengunjung yang menikmati hutan primer ini beberapa masih belum sadar akan kebersihan. Di beberapa titik jalan setapak yang menyusuri hutan ini menuju pohon ulin, saya menemukan beberapa sampah yang sengaja di buang oleh pengunjung yang kurangajar. Ah .. sepet! Enggak cumak itu, saya juga menemukan coretan pahatan di kayu. Wah .. rasanya mah jleb. Susah ya ..

 


Courtesy of Bonifasius Widyo Baskoro. "Hutan ini harta kita karenanya harus dijaga dan dipelihara," kata embak-embak yang pakek baju ijo lorek-lorek. "Aku cinta kamu loooh ..," kata mas-mas yang pake topi ke embak-embak berbaju ijo lorek-lorek.






Atha Ajo
Pinggir lautan, ngantuk!!

<a href="http://indonesia-blogger.com">INDONESIA BLOGGER</a> 



Macak ayu sek, sopo ngerti ketemu mas mas.










Kamis, 25 September 2014

Antara Bukit Menangis dan Tugu Equator yang Kasatmata

"Jika kamu baru saja mengalami peristiwa tanpa logika, anggap saja kamu sedang bermimpi,"

Jadi saya kembali jalan-jalan aji mumpung. Mumpung suami saya tugas ke daerah, nah di situ saya ikutan nebeng jalan-jalan. Acara traveling kali ini agak-agak berbeda rasanya. Beda karena nyerempet-nyerempet yang diluar logika. Sampai sekarang pun masih bikin saya kepikiran, agak-agak merinding dikit. 

Kali ini saya ikutan ke Kota Bontang, 230-an km dari Balikpapan. Ada dua rute yang kami lalui menggunakan mobil taft keluaran 1996. Rute Balikpapan-Samarinda dilanjut Samarinda-Bontang. Perlu waktu sekitar 3 jam lebih sedikit menuju Samarinda dari Balikpapan. Secara mobil yang kami kendarai lajunya kayak kura-kura. Kapasitas mesinnya sih 2.700 cc, tapi masih kalah ngebut sama mobil sejuta umat yang cc-nya cumak 1.300. Enggak apa-apa, yang penting nyampek. 

Nah yang jadi persoalan adalah apa yang saya alami sepanjang rute Samarinda-Bontang. Rute ini memiliki banyak bukit terjal, cocok kalau pas berkendara nyanyi naik-naik ke puncak gunung tinggi-tinggi sekali sana sini banyak lubangnya. Eh tapi waktu kami lewat, lagi ada pengerjaan pengaspalan, deng. Jadi beberapa jebakan betmennya sudah ketutup. Semoga lain kali ketika main kesana lagi, jalannya sudah semulus kulit artis Korea.

Sebetulnya jarak Samarinda-Bontang lebih pendek dibanding Balikpapan-Samarinda. Menurut Google Map, Samarinda-Bontang hanya sekitar 116 Km dengan waktu tempuh 1 jam 45 menit. Dengan catatan tanpa macet. Mungkin Google Map lupa kalau jarak segitu bisa ditempuh tak hanya tanpa macet tapi juga kalau jalannya lurus. Menuju Kota Bontang memang tanpa macet. Tapi jalan-jalan terjal dan jebakan-jebakan betmen membuat mobil tua yang kami naiki berjalan seperti siput. Baru jalan beberapa ratus meter sudah nemu jebakan betmen. Jelas dong, waktu 1 jam 45 menit enggak mungkin banget ditempuh dengan kondisi jalanan seperti itu. Ah .. masak! Iyaaalaahh .. nyatanya kami berkendara hampir 4 jam lamanya hingga sampai hotel tujuan. Waktu itu, Samarinda ke Bontang, jalannya pas banyak perbaikan. 

Salah satu titik jalan yang membuat momok para pelintas adalah Bukit Menangis. Kemiringan jalan bukit ini (mungkin) hampir 20 derajat. Enggak cumak miring, tapi juga berkelok tajam. Kebayang kan mobil yang kami tumpangi meraung-raung untuk sampai ke atasnya. Kenapa disebut bukit menangis? Menurut Google searching, kendaraan yang lewat jalan bukit ini selalu meraung-raung seperti orang sedang menangis saat merangkak di tanjakan. Makanya disebut Bukit Menangis. Tapi yang bikin saya antusias adalah saya melihat Tugu Equator setelah melewati Bukit Menangis (kalau tidak salah). Mau mampir tapi kok capek. Jadi kami putuskan akan mampir pas pulang. 

Nah di sinilah masalahnya. Kami menemui masalah untuk menemukan letak atau posisi Tugu Equator saat berkendara pulang. Dari kami berempat, saya-suami dan dua orang kawan suami-istri, tidak ada yang melihat di mana letak tugu itu. Padahal saat lewat pertama kali, kami melihatnya dengan jelas papan nama yang dipasang persis di pinggir jalan. Apalagi Tugu Equator terlihat sangat jelas dari pinggir jalan. Bahkan kami tak jua menemukan papan nama petunjuk Tugu Equator. 

Enggak nyerah dooong. Maka sembari menuju Bukit Menangis (karena suami saya punya kepentingan untuk memotret kondisi jalan dan lalin di Bukit Menangis terkait tugasnya), kami pun semakin memelototi di manakah Tugu Equator. Manaaaaaaaa ... kok nggak nemu! "Jangan-jangan dah kelewatan," celetuk salah satu kawan saya. "Ah .. nggak mungkin, dari tadi aku melototi jalan. Kan mau motret bukit menangis juga .. ini bukit menangisnya kok nggak nongol-nongol," jawab suami saya. 

Lalu saya cek Google Map untuk mengetahui posisi berkendara kami. Hasilnya? Jarak tempuh kami menuju Kota Samarinda tinggal 35 Km lagi. Artinya Bukit Menangis dan Tugu Equator sudah tertinggal jauh di belakang. Lah terus Bukit Menangisnya ke manaaaa, kok nggak kerasa pas tanjakan.  "Harusnya kerasa loh .. ini kok enggak, lempeng ajaaa, nggak ada semacam tanjakan atau turunan paling terjal. Aku tuh pasti tahu kalau lewat Bukit menangis," kata suami saya.

Dan tiba-tiba kamipun melewati lokasi calon bandara Samarinda yang baru dibangun .. loooohhhh maksud loooo ?? Jadi total waktu tempuhnya dari Bontang sampai hotel di Samarinda cumak 1 jam 45 menit. Hebat kaaaannnn .. merinding disko dooong. Kami cumak diam. Sampai di pusat kota Samarinda kurang dari 3 jam berkendara.. ihiiirrrr. Padahal sempat juga mampir minimarket sekitar 10 menit.

So, dengan kondisi mobil yang tua dan jalanan yang seperti itu, kok nggak mungkin jarak tempuhnya cuman kurang dari 3 jam. Secara berangkatnya saja pas 4 jam perjalanan. Menurut informasi di Google, waktu tempuh dari atau ke Bontang rata-rata hampir 3 jam jika santai. Juga menurut suami saya, waktu tempuh yang kami alami agak janggal. Mengapa? Karena perjalanan santai menuju Bontang dari Samarinda tanpa macetpun setidaknya ya 3-jam an. Dan kami merasa tidak melewati Bukit Menangis dan tidak melihat Tugu Equator. Wah kasatmata dong.

Lalu teori konspirasipun berkecamuk di alam atas sadar saya. Mulai dari diculik alien barengan trus ingatannya dihapus, memasuki lubang hitam, ketemu segitiga bermuda, sampai pada teori dimensi waktu yang mampu membawa kami mempercepat waktu. Ah kebanyakan nonton ancient alien. Atau jangan jangan kami adalah saksi mata peristiwa ekstraterestrial trus didatangi agen K nya Men In Black. Mungkin juga kami menemukan jalan pintas kasatmata yang mempercepat waktu tempuh. Emaaaakkkkk .... atut.

Ya sudahlah .. daripada kepikiran, kami mengganggapnya sebagai mimpi. "Ada jalan lain nggak sih selain ini," kata kawan saya. Ehehehehehe ... cumak ini jalannya. "Tapi kok aku merasa nggak lewat sini ya kemarin, kayaknya jalannya kok beda," timpal suami kawan saya ini. Eheheheheh .... sudah nggak usah dibahas. Suami saya cumak geleng-geleng kepala. Bingung? Samaaakkkk...

Setelah kejadian "misterius" tadi, kami berempat membahas lagi apa sih yang sebenarnya terjadi. Tetap juga enggak ketemu penjelasan. Tapi beberapa cerita dari kawan-kawan memang menyiratkan kalau bisa saja pengendara mengalami kejadian aneh.

Setelah dipikir ulang, ada beberapa hal yang memang tidak seperti biasanya. Pertama, saya, suami dan kawan saya sepakat, kondisi jalan saat kejadian itu, sepi. Nyaris enggak ketemu kendaraan lain. Terlampau sepi untuk situasi di akhir pekan pada ruas jalan penghubung dua kota tadi.

Trus, kami berempat kok juga merasa ruas jalan datar-datar saja, nyaris tanpa naik-turun bukit. Juga banyak lempengnya, alias minim belok-belok. Juga enggak ketemu banyak jebakan betmen. Padahal kan enggak mungkin itu. Kok kami enggak nyadar yaaaks.. Hii.. Tapiii ya sudahlaah... Bingung juga kalau mikirin terus apa dan gimana-gimananya. Pokoknya pulang selamet..





Atha Ajo

BACA JUGA:
MENANTI KIRK HAMMET
<a href="http://indonesia-blogger.com">INDONESIA BLOGGER</a> 


                  

Rabu, 24 September 2014

My Beloved Himura



 “Sifat sejati manusia adalah kekerasan, dan dunia ini adalah neraka,” Shishio Makoto.


Bagi yang pernah jatuh cinta dengan sosok Kenshin Himura versi manga, siap-siap jatuh cinta lagi dengan Rurouni Kenshin versi live-action. Iya dong .. saya enggak nyangka manga Samurai X yang awalnya dianggap sulit untuk dibuat live-action’nya ini akhirnya sukses di live-action kan oleh sutradara Keishi Ohtomo. Bravo om!! Ini menjadi jawaban dari mimpi para penggemar manga dan animenya di era 90’an.  Dan saya gembira ketika sequel pertama dari trilogy Rurouni saya temukan dalam bentuk DVD (2012 akhir) .. sayangnya bajakan, yang asli belum beredar. Yang jelas karya Nobuhiro Watsuki ini sukses besar bikin saya ngayal ikutan jadi warga era meiji dan jatuh cinta sama Kenshin Himura yang bisa tiba-tiba menjadi konyol setelah beradu pedang dengan bengisnya.
 
Seingat saya, anime Samurai X ditayangkan Indosiar di pertengahan era 90’an. Tahunnya saya lupa. Yang jelas saat itu saya masih SMA. Masih imut-imut dan suka ngayal, masih belum paham pacaran tapi lebih senang nggebet. Masa itu adalah masa dimana cowok-cowok dorama menjadi idola kawula muda era 90’an. Cowok-cowok dorama loooh .. beda sama cowok-cowok di lapak sebelah. Nah saya’nya idola banget sama yang namanya Takuya Kimura. Ahh .. apa kabar binder saya yang banyak stiker mas takuyanya. Karena saya jatuh cinta sama mas Kenshin sekaligus aa’ Takuya, maka Takuya Kimura “kala itu” menjadi perwujudan Kenshin Himura versi live-action khayalan .. kalaa ituuuuuuu.

Alih-alih Kimura seperti khayalan saya, peran Kenshin pada trilogy 
Rurouni Kenshin diemban oleh Takeru Sato. Hasilnya? Sekali lagi saya jatuh cinta sama mas Kenshin lewat perwujudan Takeru Sato. Peran ikonik ini diwujudkan dengan nyaris sempurna oleh pemeran Kamen Riden Den-O ini. Sato sukses mewujudkan transisi Kenshin Himura yang konyol, rendah hati dan lemah lembut dalam bertingkah laku serta bertutur kata menjadi sosok Himura Battousai, pembunuh berdarah dingin, dalam sekedipan mata. Ihh .. kyuuutt!!

Sequel kedua trilogy ini, Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno, mengejutkan saya karena ditayangkan di Bioskop. Harus nonton doooong. Dan saya sukses merayu suami untuk ikutan nonton film ini di bioskop. Jarang-jarang suami saya mau nonton film yang bukan buatan holiwud. Kyoto Inferno mempertemukan Kenshin dengan Shishio Makoto, seorang Hittokiri Battousai (pembunuh berdarah dingin), serta Juppongatana, kelompok samurai keji yang dibentuk Shishio. Kalau nggak tahu ceritanya, langsung nonton filmnya aja deh atau baca manganya. Bakalan panjang kalau dibahas disini. Di sequel ini, Kenshin harus berhadapan dengan Shishio dan Juppongatana (Ten Swords) yang berencana menggulingkan pemerintahan era Meiji.

Salah satu pertarungan seru yang saya nantikan di sequel ini adalah ketika mantan Battousai dengan luka X di pipi kirinya ini harus melawan salah satu Juppongatana kesayangan Shishio yakni Soujiro Seta. Sosok Soujiro Seta yang digambarkan sebagai lelaki muda berperawakan mungil dan tanpa dosa ini dimanifestasikan dengan apik oleh Ryunosuke Kamiki. Pokoknya kalau lihat Seta di jalanan nggak bakalan ngeh deh kalau ternyata doi memiliki ilmu pedang yang bikin geger seantero kota. Kata suami saya “Kok jalannya agak kemayu,” .. mbooohh!!

Namun bukan tokoh-tokohnya yang bikin saya gregetan dan nagih pengen nonton lagi. Film ini, baik sequel pertama dan kedua juga ketiga nanti, sama-sama menyuguhkan koreografi yang bagi saya sempurna juga rumit. Sequel pertama Rurouni Kenshin lebih banyak bercerita tentang transisi Kenshin dari Hittokiri Battousai menjadi Rurouni (pengembara) dan latar belakang pedang sakabatou’nya (pedang bermata terbalik). Baru di sequel kedua, Kyoto Inferno menyuguhkan pertarungan laga yang lebih rumit. Adu teknik pedang yang ditampilkan disini sangat fantastis tapi masih tetap realistis dan tidak berlebihan sehingga masih enak dinikmati. Tidak ada adegan terbang berlebihan dan bertarung di angkasa. Satu lagi yang membuat film ini keren adalah dialognya yang kuat dan berbobot. Tidak berlebihan layaknya pujangga tapi lugas.
 
Awalnya saya menebak-nebak bagaimana Sato dan kawan-kawannya mampu menyuguhkan pertarungan yang cepat dan penuh teknik. Setelah cari tahu sana-sini, ternyata film ini sama sekali tidak menggunakan CGI loh. Pure acting para pemainnya yang diperoleh dari hasil latihan koreografi selama beberapa bulan. Apalagi Ohtomo tidak begitu mengandalkan wire work dalam beberapa adegan laganya. Jadi ketika Sato loncat-loncat itu, bisa jadi memang dia loncat beneran tanpa kabel. Hebatnya lagi, Sato tidak menggunakan jasa stuntman dalam aksi guling-gulingnya. Ahh .. tambah kiyuuutt!! 

Lalu sebenarnya seberapa cepat sih gerakan koreografi adu teknik pedang yang dipertontonkan di laga ini. Apakah ini permainan kamera dan editing semata? Coba deh lihat behind the scenenya. Maka kamu bakalan tahu, bahwa koreografi adu teknik pedang yang dipertontonkan memang terdiri dari gerakan-gerakan yang cepat, gesit dan agresif.

Nah mumpung masih tayang di bioskop, nontonlah agar tidak menyesal. Meskipun subtitle Bahasa dan Englishnya agak susah dicerna, tapi nggak papa. Film ini patut ditonton. Jangan khawatir, cerita yang disuguhkan disini juga kuat, mungkin karena manga’nya yang keren duluan. Oke Sip ..



Atha Ajo
Ah .. apa kabar Takuya Kimura #eehhhh