Translate

Sabtu, 08 Agustus 2015

Batu Dinding : Semilir yang bikin ngantuk


Sunrise di Batu Dinding


My trip my adventure saya kali ini (ecieeeeee kekinian banget pakek slogan my trip my adventure) .. Ya sudah, tamasya saya kali ini ikut rombongan kuli gadget yang dipelopori oleh siapa lagi kalau bukan mas bojo. Pokoknya kalok ada acara tamasya beginian, mas bojo wajib mengikutsertakan saya. 

Lokasi yang kami tuju ini berada di kelurahan Batu Dinding, Samboja Kabupaten Kukar. Makanya disebut kawasan wisata Batu Dinding karena berada di Kelurahan Batu Dinding. Menuju ke lokasi, saya dan rombongan pilih naik motor. Enggak perlu pakai motor trail yang ban'nya kayak pacul. Cukup motor matik mungil sudah bisa melalui jalanan terjal berbatu sampai ke "lokasi". Yang penting mampu mengemudi dengan baik dan benar serta waspada. Kalok perhatiannya meleng dikit, alamat salto.

Sebetulnya menuju kesini naik mobil juga bisa. Tetapi kita hanya bisa sampai ke pos I yang dilanjut jalan kaki menuju pos II yang jaraknya hampir 1 Km. Mengingat betis ini adalah betis manja, naik motor sudah pasti pilihan yang tepat. Tapiiiiiiiiii .. naik motorpun hanya bisa sampai pos II, pos terdekat yang jaraknya sekitar 2 km dari puncak Batu Dinding ... myeeeeehhh!

"Cumak dua kilometer kok," kata mas bojo. Oohh gampang. Berbekal pengalaman jalan kaki muterin mall to mall yang kalok diitung lebih dari 2 km, maka saya PD. Tapi saya lupa kalo jalan tembus ke puncak Batu Dinding itu naik turun. Terjal berbatu lagi. Ada beberapa titik jalan menanjak yang saya harus sampai membungkuk untuk mendakinya. Gakpapa .. meski saya dan mas bojo nol pengalaman naik gunung, tapi tetap berjuang sampai ke atas. Semakin membara semangat saya ketika melihat ada mbak-mbak cumak pake sendal teplek untuk ke mall jalan ijlig tanpa kesusahan sementara saya pakek sepatu yang sol'nya kayak pacul aja jalannya kesusahan. 


haduhhh boyok!!!

Kayaknya salah pakek sepatu

Istirahat dulu

 
Ya gitu jalannya


Waktu paling tepat untuk berkunjung ke lokasi ini adalah subuh. Saya bela-belain berangkat dari rumah jam 4 dini hari agar sampai puncak Batu Diding bisa menikmati sunrise. Ternyata yang pengen liat sunrise enggak cumak kami. Sudah ada 30an orang yang nongkrongin puncak saat kami tiba. Hampir semuanya langsung buru-buru setting kamera ketika matahari mulai nongol. Saya mah duduk aja diatas batu, santai sambil ngeluarin hape yang ada kameranya. Trus jepret-jepret dari tempat saya duduk. Melihat kanan kiri hijau semua membuat saya kriyip-kriyip. Ada beberapa titik hamparan hijau di kejauhan yang masih tertutup kabut. Saking santainya, saya malah ngantuk karena suasana yang redup ditambah hawa dingin dan angin sepoi-sepoi. Pemandangan itu seperti menghipnotis saya. Dan angin semilirnya seperti membisikkan lagu "Tidur-tidurlah sayang,".  Meluk bantal cocok! 




Trus kalok kayak gini, gimana jalannya. Saya terima dudu saja.



Bagus sih tempatnya, tapi ngeri agak singunen. Saya yakin ada banyak puncak-puncak gunung yang aduhai pemandangannya, lebih bagus dari Batu Dinding. Hanya saja lokasi yang terletak di pinggir kawasan konservasi Bukit Soeharto ini gampang diakses. Untuk sampai ke puncaknya, kamu hanya perlu betis dan niat yang kuat. Nah bagi pecinta alam yang biasa naik gunung, trek disini mah gampil. Masih lebih susah trek ke Merapi kok.  Saya'nya aja yang jarang mendaki, jadi agak ngos-ngos'an.

Tapi ingat, nyawa tak semurah selfie kalok sudah sampai di puncak. Harus hati-hati dan tidak pecicilan karena lebar puncak kurang lebih 1 meter lebih sedikit, itupun berbatu. Tak ada jalan setapak. Adanya pijakan-pijakan untuk kaki yang untuk melaluinya harus bergantian. Nah sayangnya meskipun ada banyak papan peringatan untuk berlaku tertib dan menghargai alam, tetep aja ada pengunjung yang ngeyel buang sampah minuman sembarangan. Kayaknya sudah menjadi kebiasaan bagi sejumlah pengunjung untuk menorehkan namanya. Duh .. sepet gitu ngliatnya kalok nemu pohon atau kayu pegangan atau batu trus ada coretan nama.

Lalu yang menjadi perhatian kedua saya adalah, minimnya petugas jaga di puncak. Eh tapi kayaknya saya nggak liat petugas jaga di puncak Batu Dinding. Jadi kami para pengunjung dibiarkan menjelajahi puncak sendirian. Minimnya petugas yang memantau puncak agak sedikit mengkhawatirkan. Masalahnya ini bukan kawasan wisata yang kita bisa loncat-loncat kesana kemari. Minimal ada tim penjaga yang memantau aktivitas para pengunjung diatas, kalok kawasan ini memang benar-benar dibuka untuk umum. Jangan cumak pasang palang kayu dan tali dong. 



Pengamannya cuman tali doang begini




Yaaaaa lomba keluarin kamera



Nah gitu deh penampakan di belakang saya .. njuk aku kon kepiyeeee nek dalane koyo ngono. Butuh petugas jaga!!!!!

Ini pos II. Terus lanjut jalan kaki 2 km ke puncaknya.

Jalan pulang
     




Catatan dari kamar
sambil ngelus-ngelus betis yang cenut-cenut
Njarem lek!!

Atha Ajo
   

    

Kamis, 19 Februari 2015

Petung dan Negeri Atas Awan

Sebetulnya bukan negeri atas awan secara harfiah sih. Cumak lembah yang ketutup kabut yang kalo diliat dari atas bukit berasa kita'nya jadi keren gitu. Sayangnya nggak bisa selfie disini. Selain lokasinya yang agak-agak serem, kita pasti bakalan di sumpah serapahin sama sopir truk karena ngetem di pinggir jalan. Di sepanjang jalan ini jalannya sempit dan penuh jebakan betmen, sehingga para pelintas harus bisa manuver ala ujian mengemudi SIM A. 

Saya berangkat dari rumah jam 05.00 WITA bersama tiga orang lainnya, salah satunya pasangan hidup saya dan dua orang lainnya temennya pasangan hidup saya. Tujuan kami adalah tana paser (dulu namanya tana grogot). Saya ikutan kesana karena kepengen liat tana paser yang berwarna ungu. Iya warna ungu .. serius! Tapi kami kesana bukan karena mau liat unguisasi tana paser. Tapi karena aksi demo masyarakat adat tana paser yang menolak warna ungu sebagai ciri khas tana paser. Ungu cyiiinnn.