Translate

Rabu, 09 April 2014

Selamat datang Roaming Internasional : Menapaki Perbatasan Part 3

Selamat datang surga tetangga, Selamat datang roaming Internasional


Ketika negara tetangga ada di balik tugu ini.


Cerita soal perbatasan memang tak ada habisnya. Banyak yang saya alami selama di perbatasan Indonesia-Malaysia bagian utara. Mulai jalan poros utama yang bopeng sana sini hingga tak ada satupun traffic light. Wong jalannya saja lurus. Saya hanya menemukan satu simpang empat dan dua simpang tiga. Salah satu Babinsa yang menjaga patok batas tiga bercerita kalau duluu sekali dia pernah melihat ada ular segede meja dan mengembeekk. Hiii .. duh. Untung dulu. Tapi nggak tahu kalau sekarang, karena jelajah saya enggak sampai di perbatasan Malaysia atas yang rimbun dan sunyi senyap. Lalu ada cerita dari penduduk setempat tentang mitos hujan yang ogah turun di desa Aji Kuning. Desa dimana patok batas tiga tertancap. Katanya kalau ada perawan bunting, maka enggak bakalan turun hujan sampai diketahui siapa yang mbuntinging. Dan Desa Aji Kuning katanya sudah enggak hujan selama tiga bulan. Wah kebetulan. Padahal desa seberang hujan.

Di belakang patok batas tiga ini ada sungai kecil dan dermaganya. Biasanya digunakan oleh penduduk setempat untuk wira wiri ke kota Tawau Malaysia. Ya sekedar jalan-jalan atau kulakan bahan baku. Lah kok ke Malaysia kulakannya. Kulakan barang Indonesia jatuhnya lebih mahal. Lagian stok nya enggak ada. Jadi jangan anggap mereka tidak nasionalis hanya karena kulakan barang Malaysia. Pemerintah kita saja enggak bisa menjamin stok ketersediaan bahan baku di daerah perbatasan ini. Boro-boro pake produk dalam negeri, gas elpiji produk pertamina saja enggak ada. Yang ada produk gas elpiji dari Shell dan Petronas warna kuning. Menurut pengakuan warga setempat, tahun lalu pemerintah telah membagikan gratis kompor beserta gas elpiji pertamina isi 3 kg. Tapi jangan tanya kelanjutannya. Enggak ada. Gimana mau pakai, stok elpiji pertamina saja enggak terdistribusikan dengan baik dan benar. Bahkan jual beli lebih untung pake ringgit daripada rupiah. Untungnya pedagang masih mau terima rupiah saya. Ingat, enggak ada cerita ada penukaran uang disini. 

Secara administratif sebetulnya saya sudah menginjakkan kaki di negeri Jiran tanpa pasport. Bangga dong. Bukan bangga karena negara tetangga, tapi bangga bisa menjejakkan kaki kiri di Malaysia dan kaki kanan di Indonesia. Macam rumah salah satu penduduk desa Aji Kuning yang dapurnya masuk Malaysia dan ruang tamunya masuk Indonesia. Enggak perlu foto di bawah menara Petronas. Selfie di tugu tapal batas pun sudah cukup dan lebih bermakna bagi saya. Apalagi warga setempat ramah-ramah kepada pendatang seperti saya. Hahaha .. saya kece kali yaaa. 

Sesungguhnya citarasa perbatasan lebih terasa ketika saya sedang berada di desa sungai limau. Meski tidak seperti desa Aji Kuning yang ada patok batasnya, namun di desa sungai limaulah ponsel saya mendadak kena roaming internasional. Beginilah bunyi sms yang saya terima dari operator kartu yang saya pakai : "Plgn Yth, Anda roaming di Malaysia.Trf Telp ke Indonesia Rp.20 rb/mnt, SMS Rp.5 rb/SMS&Data Rp.909/10Kb(maks 150rb/hari).CS: +628110000333 (Gratis dari KartuHal*),". Waaaahhh selamat datang roaming internasional deh, padahal secara administratif saya masih di Indonesia. Pantes garis sinyal ponsel saya yang biasanya terpampang huruf H atau 3G berubah menjadi R, singkatan dari Roaming. Gumun. Langsung paket data saya matikan. Karena kata mas CR7 lokal, kalo nggak dimatiin bisa nyedot pulsa. Kenceng pula. 

Karena letak desa sungai limau ini tinggi, saya bisa melihat kota Tawau Malaysia dengan gedung-gedung tingginya. Rasanya itu takjub tapi juga prihatin. Karena masyarakat disini bangga atas kewarganegaraannya tetapi tidak berdaya karena harus membeli bahan baku dari Malaysia. Nah tau sendiri kan kalau bahan baku Malaysia juga disubsidi oleh pemerintahannya. Jadi secara tidak langsung, masyarakat Indonesia disini juga menerima subsidi pemerintah Malaysia. Betapa ngenes. Di Jawa kita menghujat negara tetangga, tapi lihatlah di perbatasan. Siapa yang seharusnya malu. Hanya satu yang merajai disini, apalagi kalo bukan mie instan lokal dan rokok. Ya itu saja. 

Jadi selama kita bangsa Indonesia masih meremehkan tanah sendiri, jangan harap deh apa yang kita miliki akan aman sentosa. Begh .. bahasanyaa. Tapi bener, enggak perlu menghujat dulu deh kalo kita sendiri belum bisa mengurus dan merawat yang kita miliki. Percuma. Ntar malah menjilat ludah sendiri. Iihh jijik kan. 


Selfie dulu.



Salam perbatasan

Atha Ajo


Selfie lagi, mumpung sepi.



Dan saya bertemu Enrique Iglesias lokal : Menapaki Perbatasan Part 2

"Saya takjub bertemu Enrique Iglesias lokal"

Jalan-jalan saya kali ini terasa spesial. Bukan karena obyek wisatanya, tetapi karena sosial masyarakatnya. Obyek wisata yang mudah diakses hanya satu yakni pantai batu lamampu. Kata pak Camat ada beberapa akses menuju pantai ini. Kebetulan saya menggunakan jalan masuk yang setengahnya hanya bisa di akses sepeda motor. Thimik-thimik. Ya biasa saja. Cuma ada batu karang seperti pulau yang menonjol di bibir pantai. Kalau pasang, katanya batu itu ikutan naik. Enggak bisa berjemur, apalagi renang.

Luas Sebatik Indonesia yang tak lebih dari 250 Km persegi ini sekali jalan bisa ditempuh 3 jam. Setidaknya saya sudah setengah mengelilinginya dengan motor. Biasanya jika ke suatu daerah, saya akan takjub akan obyek wisatanya. Disini saya cukup takjub meski hanya menikmatinya diatas motor. Berbekal informasi dari penduduk lokal yang berdomisili di pusat keramaian Sebatik Indonesia, saya berkendara selama dua jam menuju air terjun tujuh tingkat Mantikas di desa Mantikas, sebatik barat. Sebetulnya ada dua air terjun yakni air terjun Mantikas dan air terjun Lampio. Hanya saja akses air terjun lampio sedang dalam perbaikan. 

Ternyata menuju air terjun Mantikas ini juga tidak mudah sodara-sodara. Akses jalan utama yang naik-naik ke puncak gunung dan mendadak turun terjal dengan kondisi aspal di beberapa bagian yang mengelupas dan berkerikil, membuat saya tak berani ngebut. Semakin sulit karena tidak ada petunjuk jalan. Apalagi penduduk di desa yang kami lewati ternyata juga tidak tahu dimana letak air terjun mantikas itu. Yah sudahlah, yang penting nekat. Dan kamipun menemukan desa mantikas. Baru deh penduduk sini tahu dimana letak air terjun mantikas itu. Salah satu wanita paruh baya menunjukkan jalan setapak menuju air terjun mantikas. Kami disuruh berhenti di depan sebuah rumah panggung. Dan katanya air terjun ada dibalik rumah itu. Horeeee dong bisa mandi mandiiii. 

Segera setelah memarkir motor didepan rumah panggung yang ditunjuk, saya langsung mencari tanda-tanda keberadaan air terjun. Oleh seorang bapak-bapak, air terjun mantikas memang berada di balik rumah panggung itu. Namun ada tetapinya .. untuk menuju kesana harus jalan kaki 2 km karena air terjunnya ada di balik bukit yang kebetulan bukitnya ada beberapa ratus meter di belakang rumah panggung itu. Dan gede bukitnya enggak main-main. Gelooooooooo ... ngemeng dari tadi. Dua kilometer dengan jalan yang terjal seperti itu butuh waktu pulang pergi lima jam. Yasudah batal. Sayapun balik badan. Meskipun batal menikmati air terjun tujuh tingkat, saya tetap merasa antusias dengan perjalanan kemari. Jarang-jarang saya lihat kebun kelapa sawit dari dekat. Pemandangannya juga cukup spektakuler dari atas. 

Berkendara menuju sebatik barat pun juga tidak kalah menantang. Puncak bukitnya lebih tinggi. Saking tingginya, saat berkendara ke puncak yang tertinggi, saya bisa melihat kota Tawau Malaysia di seberang pulau. Di desa sungai limau ini, saya bertemu etnis suku yang berbeda. Saya berasa sedang berada di Indonesia bagian timur. Nah usut punya usut warga disini merupakan pendatang dari flores. Dan disinilah saya bertemu dengan Enrique Iglesias lokal lengkap dengan tahi lalat di samping hidungnya. Kalo yang asli kan masih muda, nah yang ini sudah agak mature. Karena saya ngliat mas Enrique lokalnya sampai takjub, saya jadi dikedip-kedipin sama mata mas'nya yang sendu-sendu melo. Idiiiiihhh mas nya genit. Sayangnya saya enggak berani foto takut mas nya salah paham. Yah buktinya cukup di ingatan saya saja deh. Kalo dipoles, enggak jauh beda kok sama orang puerto rico. Pemandu kami yang masih muda dan penduduk setempat juga bernasib sama. Sak plinthengan mirip-mirip pemain sepakbola asal Portugal CR7 dengan versi kurus. Kalo siang kerja jadi kaur pemerintahan, sorenya sudah jadi anak muda gawul. Pulangnya saya dibawain mangga gede banget. Wahhh lumayan. 

Nah terus kalo para penduduk ini mau hiburan gimana dong. Enggak ada mall. Ya nggak usah nanya mall disini. Mereka bisa asik-asik sendiri. Enggak ada android juga nggak mati gaya, karena sinyal Indonesia susah di desa ini. Jika ke pusat keramaiannya, warga setempat juga cuma nongkrong di teras rumahnya sambil main kartu. Baru deh ada triping tekjing tekjing musik disco jika ada kawinan. Yang saya amati, setelah resepsi berlangsung, malamnya langsung ada disco opendoor. Heboh deh soundsystemnya. 

Nggak ada mall, mereka nggak bakal mati gaya. Dan sayapun menjelajah sepanjang 105 kilometer hari itu. Kalo pas berkunjung kesini, lebih baik sewa motor karena keindahan alamnya lebih nikmat jika dinikmati diatas motor. Kita bisa jelajah kemana saja, karena selain sepi, enggak ada lampu merah disini.  



Agak ser-ser'an pas melaju turun.



Salam 105 kilometer

Atha Ajo

Minggu, 06 April 2014

Menapaki Perbatasan Part 1


"Nyawaku ada ditangan mas ojek"

Jalan-jalan saya kali ini menuju ke gerbang utara Kalimantan, sebuah pulau yang memiliki dua kedaulatan. Separuh milik Indonesia, separuhnya lagi punya Malaysia. Pulau Sebatik Indonesia ini menjadi tujuan saya nebeng jalan-jalan sama suami. Lagipula saya belum pernah melihat langsung kehidupan masyarakat di perbatasan. Menjadi lebih berkesan karena saya bisa melihat negara tetangga dan negara kita dari sudut pandang yang berbeda. Masalahnya saya kagak punya passport, jadi sulit untuk melintas perbatasan meski sekedar mengamati. Tapi katanya berbekal surat lintas negara sudah bisa masuk negara tetangga. Yaaa kita lihat saja besookkkkk. 

Belum banyak tempat yang saya explore di daerah ini. Tapi yang jelas, saya agak prihatin karena daerah yang seharusnya menjadi teras depan Indonesia ini masih bopeng sana sini. Ah ternyata sampai sekarang umur Indonesia mendekati 70 tahun pembangunannya masih Jawasentris. 

Menuju ke pulau Sebatik Indonesiapun juga butuh perjuangan. Ternyata lebih murah ke Malaysia langsung. Dari Balikpapan menggunakan pesawat kemudian disambung speedboat yang bikin punggung tengeng. Perlu waktu 3 jam bagi speedboat untuk sampai ke pulau Sebatik Indonesia. Tiga jam penuh penyiksaan karena kaki saya kepentok sandaran kursi didepan saya. Dengan badan meliuk kesana kemari bak ikan sarden, saya tertidur. Goyangan ombal itu ternyata bisa meninabobokkan saya. Hasilnya??Jangan tanya, karena ketika bangun saya langsung mual. 

Jadwal keberangkatan speedboat menuju pelabuhan se nyamuk Sebatik Indonesia ini ternyata simpang siur. Si sopir taksi yang mengantar kami dari bandara Tarakan mengatakan jadwal keberangkatan terakhir pukul 13.30 wita. Tapi ternyata jadwal terakhir keberangkatan pukul 12.00 wita. Karena tiba di pelabuhan pukul 11.45 wita, petugas loket langsung menyuruh kami naik speedboat. Sayangnya jarak antara loket dan dermaga sandar kurang lebih 100 meter. Lebih mungkin. Dan cuma kami yang jalan terseok seok mengejar waktu yang tinggal 10 menit sementara penumpang lain melenggang naik motor dan mobil menuju dermaga sandar. Waoowww .. kenek kapal ada yang mirip boyband. Rambutnyaaaaaaaa.

Menjadi antusias karena setiba di pelabuhan se nyamuk Sebatik Indonesia, saya bisa melihat wilayah negara tetangga yang terpagari. "Itu depanmu itu Tawau," kata suami saya. Ya hanya bukit bukit. Para taksi air disini siap menyambut sambil teriak "Tawau tawau .. sini mbak ke tawau,". Waaahhh saya nggak punya passport. Saya pilih naek ojek karena itu satu satunya transportasi disini. Eh saya kok enggak liat angkutan umum yaaa. Nah disinilah nyawa saya dipertaruhkan. Dari dermaga sandar, saya harus melewati jembatan kayu yang ketika dilewati motor bunyinya akan klethek klethel klethek. Melihat kenyataan bahwa di bawah jembatan kayu adalah air laut yang sedikit bergejolak, tubuh saya ikut bergejolak saat diboceng mas ojek. Duileeee mas ojeknya ngebut. Kalo disalip, mas ojeknya minggir. 
Padahal jembatannya enggak punya pagar pengaman. Jadi kalo minggir dikiiiiiiitttt lagi, nyemplung dah. Saya sampai harus merem karena khawatir nyemplung, apalagi beberapa kali ban agak selip dan egol egol. Nyawaku ada di tanganmu loh mas ojek. Langsung lega ketika menjejak tanah. Lalu saya menjadi tamu hotel pertama yang baru dibuka beberapa hari yang lalu. Langsung nyungsep ke bantal yang masih baru. Jadi inilah yang katanya teras depan Indonesia itu. Teras yang isinya dimonopoli barang tetangga. Oh nestapa ...

Salam dari Wita
Atha Ajo

Kamis, 03 April 2014

Ketika Tropis Bertemu Salju

"Ketika inovasi berubah menjadi boomerang, maka hilang sudah penasaran saya,".

Saya termasuk orang yang gemar menonton film. Aktivitas ini -bagi saya- tak hanya semata menonton film. Tapi sudah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Seperti perasaan saya terhadap sebuah buku yang menjadi candu, begitu pula dengan film. Bagi saya, menonton film tak cukup hanya di DVD player dan TV. Saya butuh suasana yang mendukung untuk menikmati adegan-adegan dan plot-plot yang dibuat oleh sutradara dan CS nya. Bahkan sampai kredit title'nya pun saya tonton. Jika anda memiliki hobi (benar-benar hobi dan bukan sekedar senang), maka anda tahu apa yang saya rasakan.  Mudahnya, jika anda hobi membaca, maka setidaknya anda memiliki banyak deret buku-buku di rak untuk dikoleksi.

Lalu saya mengharap, kapan kita orang Indonesia bisa bikin film action se-level holiwud. Sampai pada akhirnya kita dihentak dengan kemunculan film action Indonesia yang selama ini perfilman kita dimonopoli oleh film-film saduran novel dan horor lucu-lucu seronok. Ini yang saya tunggu-tunggu, meskipun sutradaranya bule. Ora popo. Cukup terkejut karena film yang dimainkan oleh Iko Uwais ini sukses besar. Katanya. Saya pun bangga ketika nonton film pertama yang juga dimainkan oleh Joe Taslim sebagai sersan Jaka. Uiiihhhh keren yaaa .. tapi saya lebih suka Mad Dog ala Yayan Ruhian. 

Kali kedua kelanjutan film ini dirilis, saya pun berharap banyak bawah filmnya pasti lebih bagus dan seru dari yang pertama. Apalagi yang kedua ini menuai banyak pujian di festival dan mendapatkan banhak review bagus. Suami saya yang anti film Indonesia (kecuali warkop) pun ikut mengiyakan ketika saya ajak nonton film ini. Ternyata suami saya juga bertanya pada mbah gugel tentang film yang disutradarai Gareth Evans ini. Semua review mengatakan bahwa film ini top dan layak ditonton. 

Memang benar film yang bertabur bintang top Indonesia ini menawarkan banyak inovasi yang patut diacungi jempol. Tapi namanya juga film, pasti banyak yang tidak sesuai dengan perkiraan. Bahkan film holiwud pun tidak luput dari bloopers. Banyak inovasi yang saya tonton di film ini termasuk karakter yang dimasukkan. 

Saya suka karakter si gadis palu ganda. Saya juga suka perkelahian di dalam mobil yang sedang melaju kencang. Soal adu head-to-head, saya lebih suka pertarungan antara Mad Dog dan Rama di film pertama. Selebihnya, ya cuma itu aja yang saya suka. Alur ceritanya? Wah bikin saya pusing untuk memahami plot demi plot. Terus terang saja, film yang menuai banyak pujian ini bagi saya kok masih sulit menandingi film yang pertama. Agak mengecewakan. Atau ekspektasi saya yang ketinggian ya. Saya enggak jenak menonton dari awal sampai akhir.

Sebagai penyuka film action, saya merasa bosan. Terlalu banyak prolog yang ditampilkan sehingga bag-big-bug'nya jadi enggak greget, itu kata suami saya. Ya memang benar. Saya sampai harus berpikir keras untuk mencari benang merah antar plot cerita. Yang saya tahu adalah film ini bercerita tentang seorang agen yang bertugas menyamar untuk memberantas ... itu yang saya bikin bingung. Memberantas kawanan mafia atau memberantas polisi korup. Mungkin penjelasannya nanti di film ketiga kali ya, kalo ada. Ah mungkin saya'nya aja yang bingung kali ya. Atau mungkin kalo ada cerita anak-istri Rama mendapat ancaman pembunuhan karena Rama ketahuan agen yang sedang menyamar akan menjadi motivasi yang kuat bagi Rama untuk menghabisi keluarga mafia itu.

Lalu munculah adegan yang membuat rasa penasaran saya hilang sama sekali dan digantikan dengan kantuk yang tak tergantikan. Saya meyakinkan diri bahwa setingan di adegan ini untuk mendramatisir suasana. Namun demikian, sebuah film juga membutuhkan setingan berdasarkan kenyataannya. Kecuali jika film itu semacam Stars Wars atau Upside Down yang menciptakan dunianya sendiri. Saya belum bisa menerima ketika setingan adegan ini memasukkan unsur hamparan salju dan rintikannya. Ah ada hujan salju di bagian dunia tropis. Saya mencoba mengira si sutradara ingin menunjukan bahwa perkelahian sedang terjadi di luar negeri dengan empat musimnya, bukan di Jakarta. Tapi itu tidak mungkin ketika ada latar belakang gerobak dorong dengan tulisan Lumie Ayam. Apa yang sebenarnya ingin ditunjukkan si sutradara? Hanya dia dan penulis cerita yang tahu. 

Tapi kurang lebih'nya, saya tetap mengapresiasi film ini. Setidaknya bukan film ecek-ecek seperti film yang lainnya yang bangga ketika memasang bintang porno. Bagi yang cinta mati sama film ini dan menutup mata-telinga untuk kritikan, silahkan tulisan ini dibuly. 


Salah hangat dari teras

Atha Ajo