Translate

Sabtu, 11 Januari 2014

Ketika Milo tetangga lebih enak -serius-

"Rumput tetangga memang lebih hijau"


Jadi peribahasa rumput tetangga lebih hijau itu tak hanya sekedar ungkapan. Itu adalah kasunyatan yang menghinggapi setiap manusia. Percaya deh, saya saja mengalaminya. Seberapa sering sih kita mengintip milik tetangga dan ketika kita tidak bisa memilikinya, maka kita akan menghujatnya habis-habisan. "Waahh tetangga punya mobil yang bisa parkir sendiri .. ah tapi masih mending punya saya yang manual tapi parkirnya bener," itulah pembenarannya. 

Bicara soal rumput tetangga yang lebih hijau, saya harus mengakuinya memang demikian adanya. Dalam skala yang lebih besar, rumput negara tetangga memang lebih hijau royo-royo. Bukannya saya tidak nasionalis, tapi saya tidak bisa berkutik dan harus mengakui bahwa mereka lebih baik di beberapa segi. Saya menyadarinya ketika saya pindah ke pulau terbesar ketiga di dunia ini. Karena pulau Borneo ini dimiliki oleh tiga negara yakni Indonesia (3/4 nya), Malaysia dan Brunnei, maka produk-produk dari negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia "bebas" masuk dengan mudah.

Salah satu dilema ke-nasionalis-an saya adalah ketika saya lebih memilih membeli minuman coklat dari negara tetangga, ah sebut saja Milo, yang rasanya lebih enak dari buatan dalam negeri. Saya lantas mbatin, kok kita nggak bisa bikin yang seenak ini ya. Tapi saya sudah terlanjur menggemarinya. Jadi ketika suami saya sedang berkunjung ke perbatasan, maka saya mengingatkannya untuk membelikan minuman itu beberapa bungkus.

Ternyata persoalannya tidak sampai disitu saja. Rumput tetangga bukan lagi terlihat tapi memang lebih hijau karena rumput sendiri terbengkelai. Jadi tak bisa disalahkan jika warga Indonesia yang tinggal di perbatasan lebih memilih produk negara tetangga yang lebih hijau baik dari segi kuantitas dan harga. Ketika kita dibuat bingung oleh harga gas elpiji dalam negeri yang labil kayak anak ABG, mereka warga perbatasan justru tak ambil pusing. Iyalaahhh .. satu tabung gas dari negara tetangga dijual lebih terjangkau. Stok di pasaran juga jauh lebih banyak ketimbang elpiji lokal.

Menjadi gelisah karena hingga HUT ke-68, kelangsungan hidup manusia yang hakiki "hanya" terjadi di belahan bagian barat saja. Kenaikan bahan bakar minyak yang beberapa ribu menjadi tidak berarti karena masyarakat yang hidup di perbatasan terbiasa menggunakan BBM negara tetangga dengan harga sekitar Rp25.000 per liter, itupun kalau ada. Jadi ketika ada demo menentang kenaikan BBM beberapa waktu silam mengatasnamakan rakyat yang akan semakin menderita, itu tak lebih dari tong kosong nyaring bunyinya. Rakyat mana yang kalian bela. Toh naik tidaknya harga BBM lokal tidak berpengaruh pada kehidupan warga perbatasan yang hampir tak tersentuh oleh infrastruktur. Enggak perlu jauh-jauh ke perbatasan, tempat dimana saya tinggal yakni Balikpapan yang "gudangnya" minyak saja masih sering kehabisan stok BBM kok.

Seperti menjilat ludah sendiri ketika kita menghujat negara tetangga (yang mana dalam beberapa kasus hujatan-hujatan itu memang perlu dan ada benarnya), tetapi kita lupa bahwa bagian dari masyarakat kita masih bergantung pada negara tetangga untuk urusan keberlangsungan hidup. Entah sampai kapan rumput tetangga yang lebih hijau ini akan bertahan. Eh tunggu dulu, rumput tetangga lebih hijau karena rumput kita terbengkalai. Jika rumput kita diberi pupuk dan dipoles dengan militan, bisa jadi rumput tetangga tak lagi hijau.


Salam sruput dari Milo tetangga

Atha Ajo

  



    

  

 

      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar