Translate

Selasa, 10 Desember 2013

Back to the 90'an Part I

Tentang apa yang kita tonton dan dengarkan adalah keren!!

Saya bangga karena tumbuh kembang di era 90'an. Era dimana segala perubahan sedang terjadi dan era yang dipenuhi oleh kebahagiaan sederhana dengan segala perbedaan yang ada. Iya loh .. kalau dipikir-pikir era itu menjadi era emas [bagi saya]. Masa SD hingga SMA saya dihabiskan di era itu, yang artinya saya menikmati segala imajinasi tanpa cengkeraman teknologi. Generasi yang bangga ketika kamarnya dipenuhi pin-up idola. 

Idola adalah segalanya
Kalian yang satu generasi dengan saya pasti tahu dong idola-idola yang bakalan saya sebut. Salah satu majalah remaja yang menjadi favorit saya waktu itu [dan masih ada sampai sekarang dengan segala perubahannya] adalah majalah kaWanku. Majalah ini rajin membagi-bagi pin-up yang ada garis putus-putus di pinggir dengan gambar gunting di ujungnya. Ada Devon Sawa, Jonathan Brandis, GreenDay, Nirvana, Oasis, Blur, Metallica, NSYNC, BackstreetBoys, NKOTB.  Nah yang lokal ada Kla, Slank, Gigi, Anggun, Dewa 19, Jamrud, dan Atiek CB [idola saya waktu SD].
Jika remaja sekarang bangga memfollow twitter atau meng-like Facebook idola, maka saya dulu bangga memajang pin-up dan poster mereka. Dan ketika ada kawan berujar "Waow kamarmu keren tha," itu adalah pengakuan bahwa kita paling grunge. Keberadaan binder dengan segala stikernya juga menjadi ajang eksistensi saya. Bangga dong binder kita menjadi tontonan dan membuat kawan terpukau. Jika remaja sekarang bisa men-twit idola mereka, saya dulu cukup memandangi stiker dan potongan majalah yang ditempel di binder saat bosan dengan pelajaran. Berasa ditemani oleh sang idola.
Saya punya CD Blur waktu itu yang dibeli di ngejaman Malioboro. Hasilnya saya berusaha merekam lagu-lagu Blur ke dalam kaset agar bisa saya nikmati saat studytour. Boro-boro Mp3, player CD portabel kala itu menjadi barang langka yang hanya dimiliki oleh anak-anak kaya. Yang jelas, idola-idola era 90'a bagi saya lebih beragam jenisnya ketimbang sekarang yang didominasi boyband-girlband dan grub band yang mengharu biru.  Aaaaahhhh Koreaaa lagiii ..

Generasi dimana MTV adalah keren 
Tahu kan channel TV ini? Dengan host Sarah Sechan dan Jamie Aditya. Ini adalah tontonan wajib jika ingin dibilang keren, kala itu. Apalagi Jamie Aditya menjadi host yang bikin saya enggak pernah meleng dari TV. Dulu channel ini masih tayang di televisi nasional. Sekarang, kita harus menggunakan jasa TV kabel untuk menontonnya dengan biaya yang tak murah. Dengan hilangnya program-program MTV di stasiun TV nasional, hilang sudah update lagu-lagu baru. Yang muncul di TV nasional sekarang hanyalah acara-acara musik yang lebih banyak mbanyolnya daripada musiknya dan dibumbui dengan tarian cuci-cuci baju dengan musik yang itu-itu saja.

Antara MacGyver, Knight Rider, dan Baywatch
Serial MacGyver menjadi serial yang jangan sampai terlewatkan karena keesokan harinya pasti akan menjadi perbincangan seru di sekolah. Jika ada teman atau kita yang bisa perbaikin barang dalam sekejab, pasti ada yang nyeletuk "Wuiihh .. MacGyver nih yee,". Hal yang sama juga terjadi pada Knight Rider dan Baywatch. Khayalan memiliki mobil yang bisa diajak bicara dan menjadi penjaga pantai pasti mengiringi menjelang tidur. [Ngayal kapan parangtritis bisa punya penjaga pantai seperti itu lengkap dengan pondokannya]. 
Yang paling fenomenal adalah serial lokal Unyil. Serial ini yang membuat saya mengharu biru dan gembira saat SD. Serial yang memberi saya contoh bahwa perbedaan itu adalah indah. Ada Pak Raden yang galak tapi sebenarnya baik hati. Ada yang lebaran juga natalan. Ada Melani dan Bu Bariyah. Ada juga penjahatnya yang selalu pakai baju garis garis. Bahkan orang gila pun diberi tempat di serial dengan nyanyian khususnya "Dimana anakku .. oh dimana istriku,". Jangan lupa Unyil punya band yang dinamakan Band Dekil yang populer dengan lagu bermuatan visi pemerintah berjudul "Aku Anak Sehat". Semua suku dan perbedaan agama dituangkan di serial itu. Kalaupun ada konflik, pasti ada penyelesaian dengan baik dan benar.  Sayangnya Unyil jaman sekarang hanya menjadi presenter. Kasihan ya, dari jaman 80'an sampai sekarang masih SD. 
Bandingkan saja dengan acara televisi jaman sekarang yang hanya mengejar rating dengan biaya murah. Sinetron yang hanya ada balas dendam antara anak tiri dan ibu barunya, reality show setingan, infotainment yang tayangin artis yang enggak malu buka aibnya karena sudah dihamili, program acara dengan gerombolan host dan permainan enggak penting [kejar tayang lagiii], berita televisi yang kadang-kadang enggak netral karena pemiliknya mau jadi nomor satu di negeri ini. Ahh .. masih banyak lagi. Dan fenomena goyang-goyang dengan banyak nama itu sudah berlebihan.

Generasi penyanyi cilik merajalela
Kala itu program acara Tralala Trilili menjadi trend di kalangan remaja-remaja cilik. Dipandu oleh Indra Bekti dan Agnes Monika, program ini menjadi unggulan karena menampilkan penyanyi-penyanyi cilik. Saya dan sepupu-sepupu mendapatkan hak kami untuk menikmati hiburan yang sesuai dengan umur kami kala itu. Enggak seperti anak-anak kecil sekarang yang sudah hapal lagu Noah. Trio Kwek-kwek, Cikita Meidi, Joshua, Bondan Prakoso, Ria Enes dan Susan, DLL menjadi hiburan di kala sore sehabis mandi. Ucap terima kasih kepada Papa T. Bob yang sudah mengarang lagu anak-anak dengan kreatif.


Pada akhirnya saya melihat era 90'an sebagai era yang berwarna. Dan era sekarang adalah era kemunduran. Tidak ada generasi penyanyi cilik yang sesuai umurnya. Tidak ada program televisi yang membina kecerdasan karena isinya hanya banyolan tak bermutu. Ahh saya jadi kangen dengan program Mbangun Ndeso'nya TVRI. Juga kangen dengan lawakan versi Srimulat era 90'an yang sederhana tapi menjadi tontonan lumayan karena sangat tertolong oleh karakter pemainnya yang sudah matang di dunia panggung. Tapi yang sering saya putar ulang adalah Warkop yang menyuguhkan komedi slapstik segar di televisi. Lalu apa yang harus dilakukan? Ya matikan TV saja. Kumpulkan memori-memori tahun 90'an seperti saya yang mengkoleksi DVD'nya warkop dan menontonnya bersama suami. Paling banter pasang TV kabel untuk nonton program bermutu seperti animal planet atau national geografi. Atau koleksi album lagu untuk didengarkan sambil baca komik. Jadi beruntunglah anda yang hidup di jaman itu. 


Salam Generasi 90'an

Atha Ajo       




   

     

Senin, 09 Desember 2013

Tipe-tipe pengendara sepeda motor

Hari demi hari intensitas saya untuk marah-marah semakin tak terkontrol. Emosi yang paling menjengkelkan ini dimulai ketika saya keluar dari rumah. Nah semakin memuncak itu ketika saya berada di jalan raya [Enggak makan daging tapi tetep hipertensi]. Kesel saya jika ada pengendara motor yang bat-bit-but-bet-bot memacu motornya. Jadi di postingan ini saya akan meruntut tipe-tipe pengendara motor dari yang ngeselin sampai yang bikin gregetan. Emang iya saya nggak ada kerjaan saat pulang kampung. hasilnya adalah saya sukses mengamati tingkah laku pengendara motor. Pengamatan ini sudah dilakukan dengan profesional melalui observasi lapangan langsung. 

1. Kebelet BAB. Tipe pengendara ini biasanya memacu kendaraannya hingga angka 70 Km/jam di jalan kampung. Jalannya zig-zag. Apa saja dilakukan demi menyeruak kemacetan. Eh emangnya ini jalanan punya nenek loe, namanya aja macet, mau diklakson sampe accunya tekor juga nggak bakalan bisa jalan. Jika sedang terhenti di lampu merah, pengendara ini akan terpicu adrenalinnya. Cita-citanya jadi pembalap akan disalurkan tatkala lampu berubah hijau. Apalagi di tiap perempatan ada timernya, jadi tipe ini berasa Valentino Rossi. Detik'an ini juga akan mendorong mereka untuk semakin memacu kendaraan saat lampu hijau akan berubah merah. 

2. Gadget sejati. Mungkin karena nggak mampu beli earphone atau ponselnya yang cuma bisa nerima telpon atau SMS, biasanya pengendara motor tipe ini suka menyelipkan ponselnya diantara helm dan kuping sembari berkendara. "Iya Mah .. Papah sedang di jalan mau pulang .. blablabla," kata seorang bapak yang saya kira agak-agak kurang satu ons karena ngomong sendiri. Anak muda juga ada yang model beginian. Tapi yang diselipkan diantara helm dan kuping adalah Android Phablet yang tau sendiri kan segedhe gaban. 

3. Gadget sejati part II. Saya paling sebal dengan tipe pengendara yang beginian. Kayak dunia bakalan hancur lebur kalau nggak bales SMS. Mungkin pengendara tipe ini belum berasa afdoll jika belum SMS saat berkendara. Ciri-cirinya, kepala suka tingak-tinguk, kadang-kadang fokus cuma di hape doang dan memacu kendaraan 20 Km/jam tanpa arah, posisi kendaraan nanggung enggak di tengah juga enggak dipinggir. Nah bagi pengendara yang sudah mahir bahkan bisa SMS tanpa melihat hape.

4. Dunia hanya milik kita berdua Mas. Nah tipe pengendara yang ini biasanya baru saja jadian. Biasanya kendaraan dipacu pelan-pelan biar lama sampai tujuan. Enggak perduli pelan-pelannya mau ditengah atau dipinggir, selama boncengan milik berdua, jalanan terasa sepi. Mungkin kalau perlu pengendara ini bakalan datangi titik-titik kemacetan biar makin lama boncengannya.

5. Kalem. Pengendara tipe ini biasanya Ibu-ibu yang mungkin belum paham untuk berbagi ruang di jalan raya dengan pengendara lain. Memang enggak semua, tapi saya sering ketemu yang beginian di jalan raya. Iya saya tahu bu kalau kondisi jalan raya sedang sepi, tapi kan bukan berarti harus berkendara di tengah jalan dengan kecepatan 30 Km/jam kan bu. Ada baiknya kalau di klakson itu minggir, jangan keukeuh tetep di tengah jalan. Saya kan naik mobil bu, masak iya harus trobos trotoar. 

6. Tukang ngalamun. Sebenarnya saya prihatin dengan tipe pengendara yang ini. Karena kadang-kadang suka nempel di bodi mobil saya. Yang tadinya jarak kendaraan kami dua meteran, lama-lama si pengendara ini makin mepet dan jaraknya tinggal kurang dari sejengkal. Baru sadar dari lamunan setelah saya klakson dan menjaga jarak lagi. Duh mas, kalau lagi susah mending di rumah aja. Kasihan loh motor mahalnya kalau nyium mobil saya. Tetanus looooooohhhhh ... 

7. Gerombolan si berat. Biasanya tipe ini suka nge-gerombol jika sedang berkendara. Mungkin ngobrol sambil nongkrong sudah nggak trend lagi, jadi mereka milih ngobrol sambil berkendara. Enggak arisan sekalian mas????

8. Hati-hati tapi apes juga. Nah tipe ini memilih untuk fokus berkendara. Tapi sayangnya, meskipun sudah hati-hati dan mentaati semua rambu-rambu di jalan, nasibnya masih tetep apes karena ulah pengendara lain yang ugal-ugalan. 

Nah hal yang sama sebetulnya juga terjadi pada pengendara mobil yang kian kemari kian jauh dari norma berkendara. Kenapa? Karena pengendara motor yang beralih status menjadi pengendara mobil belum sanggup meninggalkan "karakternya" sebagai pengendara motor. Ya iyalah beda karakter, kalau motor bodinya kecil, kalo mobil bodinya gedhe. Kamu nggak bisa mengendarai mobil ala motor.

9. Parkir disorder. Ini nih yang paling dibenci. Penyakit parkir yang enggak ilang-ilang, bikin yang lain kagak kebagian parkir. Saya sering batal ke pusat perbelanjaan karena nggak ada tempat parkir. Paling sakit hati jika ada mobil mini yang parkir ngangkang'in marka parkir. Jadi spot parkir yang harusnya untuk tiga mobil, cuma diisi dua mobil gegara si mobil "mainan" ini rakus. Penyakit nggak mau jalan jauh karena parkir kejauhan juga pernah saya alami. Tamu dari tetangga saya yang bikin hajatan memarkir mobilnya yang bisa parkir sendiri persis di depan gerbang. Nggak takut tuh pak kalau kena karat mobil saya??



Intinya adalah jalan raya sudah menjadi salah satu momok dan penyebab hipertensi. Kadang-kadang menjadi pengendara yang baik dan benar belum tentu menyelamatkan jiwa. Tapi setidaknya sudah usaha betul jadi pengendara yang memahami etika berkendara dan berparkir. 


Salam buat yang suka ngangka'in marka parkir

Atha Ajo  

            

 

Sabtu, 07 Desember 2013

Menulis itu ...

"Menertawakan tulisan kita saat awal-awal menulis dulu kala juga merupakan sebuah proses"


Nah setelah sekian bulan tidak mengisi blog ini, akhirnya saya mengisinya lagi. Ada banyak catatan sebenarnya yang ingin saya tumpah ruahkan di blog ini. Duileeeee .. minuman kalee tumpah. Maksud hati ingin update blog saat saya "cuti" di Jogja selama sebulan. Iya cuti sebulan mbabu. Cuma sayangnya di Jogja banyak kegiatan antar jemput kesana kemari yang bikin saya kecapekan akut. Udah nggak bisa buat mikir. Ditambah noh orang-orangnya yang sekarang punya tagline "Lebih Nyaman Naik Kendaraan Pribadi daripada Angkutan Umum". Bikin macet .. dimana-mana bertebaran mobil murah. Jadi bawaannya pengen meluk bantal sama guling dan mengepak-ngepakkan tangan di kasur yang dingin diiringi derai hujan.  

Di akhir masa cuti, suami ternyata menyusul ke Jogja. Katanya kepengen senang-senang dan foya-foya. Saya sambut dengan gembira pula. Kebetulan teman suami saya asal Nunukan Kalimantan Timur yang masih muda belia menuntut ilmu di Jogja. Brondong, putih dan ganteng ... waahh saya takjub. Kami ngangkring sejenak bersama dikbro ganteng itu. Usut punya usut, si dikbro kepengen jadi penulis. Dia sempat mengungkapkan bahwa menulis itu syulit. Sulit menuangkan pemikiran dalam tulisan.  Sulit memulai darimana .. sulit .. sulit .. sulit.

Bagi saya, menulis itu gampang-gampang susah. Bisa gampang, bisa susah. Tapi jika kamu sedang memulai pengalaman menulismu, jangan pernah berpikir bahwa menulis itu sulit karena kamu pasti tidak akan pernah memulai menulis. Enggak usah muluk-muluk menulis ala Plato atau Sokrates. Juga nggak perlu memikirkan teknik menulis yang mendayu-dayu dulu. Saya sendiri sampai sekarang masih bingung dengan apa itu sastra. 

Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. [Wikipedia]

Kalau menurut Robert Scholes, sastra itu sebuah kata bukan sebuah benda. Kalau saya yang penting nulis, merangkai kata yang menurut saya klop. "Nah merangkai kata yang bisa klop itu yang susah," kata seorang kawan. Langsung saja saya sambar "Tapi kamu lulus SMA kan?". Masak iya jaman SMA nggak dikasih pelajaran mengarang indah. Sejelek-jeleknya karanganmu di mata guru, toh itu tulisanmu. Kalau perlu tertawakan sendiri tulisanmu. Masalah sempurna atau tidak, bagi saya itu relatif. Banyak kok tulisan-tulisan yang dianggap tidak sempurna oleh sebagian orang tapi ternyata justru menarik perhatian orang lain. 

Apa saja bisa menjadi tulisan. Kalau kata pemred saya dulu yang sudah almarhum, kentutpun bisa menjadi tulisan. Ketik saja apa yang ada di dalam otakmu. Kalau enggak punya laptop ya pakai notes. Kalau enggak punya media penyalur, ya pakai saja Facebook atau Blog. Nah jangan pandang sebelah mata sebuah diary karena itu juga menjadi media penyaluranmu. Gampangnya menulis status di Facebook juga bisa menjadi cikal bakalmu untuk menulis.

Jika otakmu sedang memikirkan "Aku cinta dia", ya tulis saja Aku Cinta Dia. Atau jika kamu sedang ingin menulis cerita dan di otakmu hanya terlintas "Itu adalah Ayahku", ya tulis saja demikian. Atau jika ingin versi yang lebih panjang agar syarat jumlah kata terpenuhi, tulis saja Lelaki yang berdiri di tikungan mengenakan jaket coklat dan membawa sekuntum mawar merah dengan muka merengut itu adalah Ayahku. 

Jadi menulislah dengan mudah. Jangan membebani otakmu dengan tulisan-tulisan ala Paulo Coelho. Cukup jadikan itu inspirasimu. Jangan pula berpikir bahwa membuat tulisan itu harus mendayu-dayu. Atau merangkai dengan kata-kata asing yang njlimet yang kamu sendiri malah enggak ngerti arti sebenarnya. Bisa-bisa kamu justru terjerumus dalam bahasa Vickynisasi. Maksud hati kepengen nulis keren, tapi malah salah pengertian. Ini adalah proses kok. Ketika kamu menertawakan tulisanmu sendiri, maka kamu pasti akan tergerak untuk memperbaikinya. Ujung-ujungnya kamu bisa menemukan gaya menulismu sendiri. Enjoy saja .. nah nggak perlu niru gayanya Paulo Coelho kan!!!


Salam,
Diantara dua baris sinyal

Atha Ajo