Translate

Rabu, 29 Januari 2014

Peri Gigi dan Realita



Saya paling anti kalau disuruh ke Dokter Gigi. Phobia dan khawatir teraduk menjadi satu ketika memahami bahwa satu jam kedepan saya akan duduk di ruang tunggu Dokter Gigi yang baunya aujubilah itu. Masuk ke ruang tunggu saja sudah menjadi momok. Giliran dipanggil namanya adalah mimpi buruk. Kaki lemas sudah pasti. Yang tadinya cuma gigi geraham yang sakit, pas dipanggil namanya mendadak semua gigi jadi linu. Jarak dua meter menuju pintu masuk ruang dokter berasa jalan 2 Km. Lama bener. 

Enggak tahu kenapa, Dokter Gigi adalah orang yang paling saya hindari. Apalagi jika mereka sudah pegang kaca bundar dan pengait. Saya paling tidak tahan sakit gigi. Tapi saya lebih tidak tahan suasana mencekam di ruang prakter dokter gigi. Lalu jika telinga sudah mendengar desis'an bor .. ziinnggg .. itu adalah saat-saat paling horor dalam hidup saya. 

Lalu ada sebuah lagu yang liriknya "lebih baik sakit hati, daripada sakit gigi", ah itu bohong. Kalau sakit hati lalu nangis bombay sambil dengerin lagu galau, lama-lama kan capek nangis terus otomatis ngantuk dan tertidur. Nah kalau sakit gigi, pake acara nangis bombay sampai se'jerigen juga nggak bakalan ngantuk. Yang ada adalah insomnia sambil ngelus-ngelus rahang. 

Masalah gigi yang selalu saya alami adalah gigi berlubang. Letaknya pasti di gigi geraham. Bagian gigi yang paling sakit jika terjadi perlubangan. Saya lupa kapan pertama kali ke Dokter Gigi. Yang jelas, saya membenci dokter gigi pertama saya. Benci sekali. Saya selalu menaruh curiga jika dokter gigi masa kecil saya bersikap baik kepada saya. "Ah sok baik, palingan mau nge'bor gigi saya kan," batin saya kala itu. Namanya juga anak kecil, aksi tutup mulut rapat-rapat pun menjadi pilihan.

Kejadian paling menarik dan masih membekas hingga sekarang adalah aksi kejar-kejaran dengan si dokter gigi. Saya dibohongin oleh orangtua, karena katanya dokter gigi itu menyenangkan. Nyatanya pas gigi saya diperiksa dan terasa senut, otomatis saya teriak dan gigi saya katup erat-erat. Alhasil, gusi saya berdarah karena entah kait atau bor yang tergigit mengenai area itu. Setelah peristiwa itu, kamipun (saya dan om dokter) saling kejar-kejaran mengelilingi kursi periksa bak film Bollywood. Bikin trauma sampai sekarang.

Kini jika disuruh ke Dokter Gigi, saya masih pikir-pikir. Perpaduan suara bor, gesekan antara bor dan gigi, serta rasa ampas gigi yang unik dan nggak ada matinya itu lalu diakhiri dengan rasa senuuuuuttttt panjang sampai ke ubun-ubun, membuat saya bergidik duluan. Enggaaaaakkkkkkk mauuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!!!

Lalu saya membayangkan alangkah indahnya jika ada peri gigi di dunia ini. Tinggal goyangkan tongkat, masalah gigi selesai. Tapi realitasnya hanya ada dokter gigi yang bisa mewujudkan gigi sehat. Akhirnya saya harus memilih realita jika ingin hidup damai tanpa cekat cekot di bawah kuping.  Yang jelas saya harus minta anestesi lokal.

Ada nggak Dokter Gigi yang bisa nambal gigi tanpa harus nge'bor.






Ngelus-elus pipi, kapan kamu sembuh gi

Atha Ajo   

 

    

Selasa, 14 Januari 2014

MERAH


Aku adalah merah
Yang dikata rapuh dan retak ketika disentuh
Mengabaikan payah yang menjadi hari-hari lemah, harus!
Mengejar perkasa dan menjadinya, sudah!
Tetap saja kurang

Aku adalah merah
Yang perkasa seperti angin
Merayau belantara hingga terlelap
Menyambar sari agar bernyawa
Tetap saja kurang

Aku adalah merah
Yang mengindra guntur
Membuai bersamanya, mengasuh hati yang tak jatuh
Mengumbar cemeti dewa lalu berubah
Tetap saja kurang

Aku adalah merah
Yang diadu kuat dengan guntur
Menuruti diam, lalu terkoyak
Membawa ampun, malah terinjak
Tetap saja kurang

Aku adalah merah
Yang mengering seperti tulang belulang
Membekam hati, hendak berteriak
Menguarkannya, tapi tak becus
Tetap saja kurang

Aku adalah merah
Yang dikata rapuh dan retak ketika disentuh
Mengabaikan payah yang menjadi hari-hari lemah
Mengejar perkasa dan menjadinya
Tetap saja kurang, apalagi!


Diatas segala guntur,

Atha Ajo





Sabtu, 11 Januari 2014

Ketika Milo tetangga lebih enak -serius-

"Rumput tetangga memang lebih hijau"


Jadi peribahasa rumput tetangga lebih hijau itu tak hanya sekedar ungkapan. Itu adalah kasunyatan yang menghinggapi setiap manusia. Percaya deh, saya saja mengalaminya. Seberapa sering sih kita mengintip milik tetangga dan ketika kita tidak bisa memilikinya, maka kita akan menghujatnya habis-habisan. "Waahh tetangga punya mobil yang bisa parkir sendiri .. ah tapi masih mending punya saya yang manual tapi parkirnya bener," itulah pembenarannya. 

Bicara soal rumput tetangga yang lebih hijau, saya harus mengakuinya memang demikian adanya. Dalam skala yang lebih besar, rumput negara tetangga memang lebih hijau royo-royo. Bukannya saya tidak nasionalis, tapi saya tidak bisa berkutik dan harus mengakui bahwa mereka lebih baik di beberapa segi. Saya menyadarinya ketika saya pindah ke pulau terbesar ketiga di dunia ini. Karena pulau Borneo ini dimiliki oleh tiga negara yakni Indonesia (3/4 nya), Malaysia dan Brunnei, maka produk-produk dari negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia "bebas" masuk dengan mudah.

Salah satu dilema ke-nasionalis-an saya adalah ketika saya lebih memilih membeli minuman coklat dari negara tetangga, ah sebut saja Milo, yang rasanya lebih enak dari buatan dalam negeri. Saya lantas mbatin, kok kita nggak bisa bikin yang seenak ini ya. Tapi saya sudah terlanjur menggemarinya. Jadi ketika suami saya sedang berkunjung ke perbatasan, maka saya mengingatkannya untuk membelikan minuman itu beberapa bungkus.

Ternyata persoalannya tidak sampai disitu saja. Rumput tetangga bukan lagi terlihat tapi memang lebih hijau karena rumput sendiri terbengkelai. Jadi tak bisa disalahkan jika warga Indonesia yang tinggal di perbatasan lebih memilih produk negara tetangga yang lebih hijau baik dari segi kuantitas dan harga. Ketika kita dibuat bingung oleh harga gas elpiji dalam negeri yang labil kayak anak ABG, mereka warga perbatasan justru tak ambil pusing. Iyalaahhh .. satu tabung gas dari negara tetangga dijual lebih terjangkau. Stok di pasaran juga jauh lebih banyak ketimbang elpiji lokal.

Menjadi gelisah karena hingga HUT ke-68, kelangsungan hidup manusia yang hakiki "hanya" terjadi di belahan bagian barat saja. Kenaikan bahan bakar minyak yang beberapa ribu menjadi tidak berarti karena masyarakat yang hidup di perbatasan terbiasa menggunakan BBM negara tetangga dengan harga sekitar Rp25.000 per liter, itupun kalau ada. Jadi ketika ada demo menentang kenaikan BBM beberapa waktu silam mengatasnamakan rakyat yang akan semakin menderita, itu tak lebih dari tong kosong nyaring bunyinya. Rakyat mana yang kalian bela. Toh naik tidaknya harga BBM lokal tidak berpengaruh pada kehidupan warga perbatasan yang hampir tak tersentuh oleh infrastruktur. Enggak perlu jauh-jauh ke perbatasan, tempat dimana saya tinggal yakni Balikpapan yang "gudangnya" minyak saja masih sering kehabisan stok BBM kok.

Seperti menjilat ludah sendiri ketika kita menghujat negara tetangga (yang mana dalam beberapa kasus hujatan-hujatan itu memang perlu dan ada benarnya), tetapi kita lupa bahwa bagian dari masyarakat kita masih bergantung pada negara tetangga untuk urusan keberlangsungan hidup. Entah sampai kapan rumput tetangga yang lebih hijau ini akan bertahan. Eh tunggu dulu, rumput tetangga lebih hijau karena rumput kita terbengkalai. Jika rumput kita diberi pupuk dan dipoles dengan militan, bisa jadi rumput tetangga tak lagi hijau.


Salam sruput dari Milo tetangga

Atha Ajo

  



    

  

 

      

Dikejar Oki

Binatang mamalia itu memang imut, tapi tidak imut lagi jika mereka lepas kendali


Salah satu tempat wisata yang harus saya kunjungi ketika saya sedang tamasya ke suatu daerah adalah kebun binatang. Saya tidak mencoba memungkiri apa yang dikatakan oleh para peduli-lingkungan. Bahwasanya binatang juga memiliki hak hidup bebas di alam liar tanpa belenggu besi dan menentukan makanan sesuai seleranya. Tapi jika memang betul-betul perduli pada hak-hak binatang, setidaknya spesies unggas semacam ayam juga butuh dibela haknya untuk tidak menerima suntikan zat kimia guna mendorong pertumbuhan. Saya pernah melontarkan teori ini dan akhirnya saya dibully dengan alasan bahwa spesies ayam merupakan produk hewani yang tujuannya untuk pasokan makanan manusia. Yah jika alasannya untuk pasokan makanan manusia, setidaknya ayam juga berhak memiliki hidup sehat sebelum disembelih. 

Tapi saya tidak akan membahas itu. Saya cinta kebun binatang karena ini bisa menjadi sarana pendidikan. Terutama kebun binatang yang terawat dengan baik dan benar. Salah satu kebun binatang yang cukup atraktif yang pernah saya kunjungi adalah Jatim Park di Malang Batu. Saya bisa melihat berbagai macam binatang dari dekat tanpa takut dijamah oleh mereka. Alih-alih di kerangkeng besi, kebun binatang di Jatim Park sebagian menggunakan kaca. Kebayang kan ngeliat macan dari jarak dekat tanpa takut dibelai. Aman deh pokoknya. 

Nah di Balikpapan Kalimantan Timur sayangnya tidak ada kebun binatang. Yang ada hanyalah konservasi beruang madu dan buaya. Khusus di konservasi buaya ini, kita juga bisa melihat gajah-gajah mungil. Perusahaan BUMN yang bergerak di bidang telekkomunikasi pun juga memiliki konservasi di Balikpapan. Konservasi rusa ini terletak di lingkungan Telkom. Konservasinya juga aman kok. Tempat makan si rusa diletakkan dekat pagar agar kita bisa melihatnya dari dekat jika mereka sedang makan. Pokoknya aman.

Satu-satunya kebun binatang di Kalimantan Timur adalah Kebun Raya Unmul yang terletak di Samarinda. Bukan di tengah kota, tetapi di pinggir jalan yang menghubungkan Samarinda-Bontang. Dua kali saya berkunjung ke tempat wisata yang ada patung dinosaurusnya ini. Denger-denger sih, disini bakalan dibuat kebun binatang ala Jatim Park gitu. Penasaran saya. Secara konsep, kebun binatang unmul ini sebetulnya bagus. Setidaknya kita masih bisa mendapatkan suasana hutan disini. Hanya saja kurang mendapat perhatian lebih.  Jika dikembangkan dan ditata dengan lebih militan, saya kira kebun binatang ini pasti spektakuler. 

Saking spektakulernya, pengunjung yang datang kemari bisa berinteraksi dengan binatangnya jika berada di waktu yang tepat dan "beruntung". Jarang-jarang loh ada pengunjung yang bisa berinteraksi langsung dengan si binatang tanpa ditunggui pawangnya alias petugas kebun binatang. Saya mengalaminya Desember lalu ketika berkunjung ke tempat ini bersama kawan. Bukannya apa-apa, tapi ini sebetulnya insiden yang membuat heboh kami berlima. 

Saya dan suami beserta keluarga kawan kala itu sedang takjub melihat orang utan remaja. Karena di papan kayu depan kandang orang utan tertulis nama masing-masing orang utan, kawan saya inipun dengan lantang memanggil mereka dengan namanya, salah satunya bernama oki. Ah orang utan remaja satu ini yang paling membekas di benak saya. Kandang orang utan ini besar dan menjorok ke bawah. Kandang ini dibagi dua dan dipisahkan oleh pagar dalam yang kira-kira tingginya 2 meter. Sedangkan pagar yang mengelilingi kandang ini mencapai kira-kira 4 meter (agaknya) di sisi dalamnya. Tapi di sisi luar, tinggi pagar tak lebih dari 1,5 meter karena saya bisa melongok ke dalam. Aman doooonk. 

Ketika kami sedang asyik melihat ulah orang utan remaja, tiba-tiba salah satu dari mereka berjalan di atas pagar dalam yang membagi kedua kandang. Kala itu kami tidak berpikir macam-macam sampai si orang utan ini mendadak sampai di pagar terluar yang berbatasan dengan jalan setapak tempat kami berdiri dan nangkring diatasnya. Saya mbatin, wah orang utannya lepas. Dan benar, si orang utannya itu turun dari pagar dengan santainya menuju tempat kami berdiri. Saya nggak sadar kalau sedang teriak-teriak. Apalagi kawan saya ini bawa anaknya. Duuhhh. 

Suami saya dan kawan ini tidak bergerak dari posisi berdirinya karena mengira yang lepas cuma satu, meskipun saya sudah beri peringatan bahwa ada gerombolan orang utan yang sedang meniti pagar menuju ke pagar terluar. Saya sudah deg-deg'an setengah mati karena meskipun badan orang utan ini kecil tapi tangan mereka kuat sekali. Saya sudah ancang-ancang lari ketika tiga orang utan lainnya sudah nangkring di atas pagar terluar. Dan ketika ketiga orang utan ini bergabung dengan orang utan pertama yang duluan keluar kandang, kami langsung balik badan dan bergegas mencari jalur pelarian tercepat. Cemas karena gerombolan orang utan itu mengikuti kami dengan santai. Mereka kan tukang gelantungan, nah kami cuma bisa lari lewat jalan darat yang licin. Bisa mati kutu kami jika mereka mendahului pelarian kami dan menghadang di ujung jalan. "Nah kena kaliaaann .. mana tadi yang manggil-manggil saya," mungkin begitu batin si orang utan jika adegan penghadangan itu benar-benar terjadi. 

Untungnya ada petugas jaga sehingga kami memberitahu mereka jika ada beberapa orang utan yang lepas. Dari empat orang utan yang lepas, hanya satu yang ngeyel menolak masuk kandang dan naik ke atas pohon. Namanya Oki. Hingga kami beranjak pulang, si Oki masih menolak turun meski diiming-imingi susu. Nah siapa dalang dibalik buronnya Oki dan kawan-kawan ini? Kami tak tahu. Tapi kami menduga dalang di balik pelarian Oki dkk adalah ranting besar yang jatuh dan mengenai pagar dalam yang akhirnya digunakan oleh Oki dkk untuk memanjat pagar dalam. Eh tunggu dulu, pelarian mereka agaknya juga dipicu oleh kawan saya yang memanggil-manggil nama mereka .. yuhuuuuu. Nyatanya mereka langsung mendekati kami.

Jadi jika kalian ingin berinteraksi dengan mereka, panggilah nama mereka dan menunggu jika ada ranting jatuh.


Salam untuk Oki dkk
Jangan nakal yaaaa

Atha Ajo               


Rabu, 08 Januari 2014

Androgini dan masa lalu



Setelah selesai mengerjakan pekerjaan membabu buta, saya biasanya langsung membuka lapi dan koran atau majalah. Kadang-kadang saya menghidupkan televisi untuk sekedar tahu kabar terbaru atau mengintip sejenak channel yang menayangkan beragam video klip. Secara kebetulan channel musik yang saya intip sedang menayangkan video klip milik boyband pria muda asal Korea Selatan. Saya tidak hapal nama grupnya. Kontur wajah masing-masing personel hampir sama. Putih, mancung, tirus, dan mata belok. 

Mungkin saya tidak akan mengira mereka lelaki jika mereka dandan seperti perempuan karena mereka sudah bertransformasi menjadi pria cantik. Kalau anak ABG jaman sekarang menyebutnya sebagai cowok "unyu-unyu". "Uuuh .. unyu-unyu bangeettt," kata cewek ABG sambil nunjukin poster artis Korea ke temen-temennya. Sudah bukan rahasia lagi dong jika kebanyakan dari mereka katanya melakukan operasi plastik demi mendapatkan wajah elok unyu-unyu itu.

Jika ada pria yang mati-matian mempermak mukanya dengan operasi plastik demi wajah ala Ken Barbie atau pria cantik ala Korsel, maka ada pria yang mendapatkan "anugerah" itu secara alamiah. Salah satu yang saya kenal karena kecantikan alaminya adalah model pria asal Serbia-Australia bernama Andrej Pejic. Dia adalah model androgini yang pasti membuat kaum hawa iri setengah mati saking seksinya. Bukan bahenol loh, tapi saya yakin deh kalo disejajarkan sama Alexandro Ambrosia si Victoria's Secret bakalan sama. 

Label androgini sendiri diberikan jika seseorang  tidak dapat sepenuhnya cocok dengan peranan gender maskulin dan feminin yang tipikal dalam masyarakat (ah jadi ingat masa lalu). Dari yang saya baca di Wikipedia, banyak androgini yang menggambarkan dirinya secara mental "di antara" laki-laki dan perempuan, atau sama sekali tidak bergender. Mereka dapat menggolongkan diri mereka sebagai orang yang tidak bergender, a-gender, antar-gender, bigender, atau genderfluid (yang gendernya mengalir). Nah Indonesia sendiri juga memiliki model androgini, namanya Darell Ferhostan.

Entah berawal darimana, kini banyak pria-pria yang mencoba menjadi cantik. Iya doonk masak kalah sama cewek. Mulai dari mengoleksi berbagai macam obat perawatan hingga operasi plastik yang mengubah total bentuk muka. Apalagi sejak kemunculan artis-artis Korea, enggak sedikit juga yang wara-wiri di televisi muncul dengan hidung manekinnya. Duh lama-lama kok lebih rempong dari perempuan. Enggak .. enggak salah koook. Toh itu hak kalian para pria. Kaum hawa saja ada emansipasi wanita, masak kalian tidak punya emansipasi pria. 

Nah bagaimana dengan perempuan androgini? Saya belum menemukan contoh model perempuan androgini. Tapi saya pernah merasakan bagaimana menjadi seperti androgini ketika saya dicegah masuk toilet perempuan (kala itu saya masih SMP) oleh mbak-mbak penjaga gegara penampilan saya enggak perempuan banget. Rasanya galau lohh. Tampangnya lelaki enggak, perempuan juga enggak .. hermaprodit pokoknya waktu itu. Hati perempuan, tapi wujud tidak mendukung. Menentukan kostum pun jadi susah. Pengen penampilan feminim tapi kok enggak cocok, takut dibilang "ih cowok kok ngonde".  Kalo kostumnya biasa yang adalah kaos dan jeans, pasti enggak kelihatan ceweknya.

Serius, saya enggak cocok pakai baju perempuan sampai level SMA. Bahkan ketika saya naek becak sama sahabat cewek saya yang tetanggaan selepas pulang dari acara festival di sekolah SMP, beberapa laki-laki tua sempat singsotin kami. "Suit-suit .. kecil-kecil pacaran nih yee .. mesraa mesraaa," doohhh belum pernah digampar becak ya. Salah identifikasi masih saya alami hingga kuliah. Padahal saya sudah mengenakan baju yang mengidentifikasi saya sebagai perempuan. Tapi masih saja dipanggil "Mas-mas tanya dong .. eh maaf mbak,". Tapi yang saya heran, ketika rambut saya panjang dan saya gelung, masih saja ada yang manggil "mas-mas".  Saya curiga salah identifikasi ini akibat bulu-bulu tipis yang nangkring di atas bibir saya. Tapi masih kalah lebat dengan kakak perempuan saya.

Tapi itu sudah berlaluuuu .. uu .. uu. Kata orang rumah, perubahan saya itu muncul ketika pacaran dan kawin. Ah nggak juga, karena kumis itu masih ada. "Lebih perempuan," kata saudara. Emangnya saya dulu apaan. Tinggal satu yang membuat orang penasaran ketika berpapasan dengan saya. Lelaki boleh tampil cantik, saya sebagai perempuan juga boleh dong punya kumis alami. Masalahnya saya sekarang enggak diperbolehkan potong rambut pixy oleh suami. Salah satu hal yang saya rindukan. Jadi muka boleh berkumis, tapi hati tetep perempuan.



Salam Kumis Kucing dari ujung Timur,

Atha Ajo  

      

 



Back to the 90's Part II



Saya besar di era 90'an. Jadi saya masih sempat menikmati hiburan yang meskipun dianggap lawas dan enggak moderen (pada saat ini) tapi menyuguhkan berbagai elemen yang saya kira justru lebih mendidik. Biar dikata dulu cuma ada statiun TVRI saat saya TK dan SD, tapi saya tetap bersyukur. Beberapa acara yang menjadi favorit saya adalah Unyil dan Bangun Desa. Kemudian ada Aneka Ria Safari yang menampilkan artis artis lawas. Ah Atiek CB .. Dan saya yang masih duduk di kelas 1 SD akan galau jika soundtrack "Dunia Dalam Berita" berkumandang. Itulah waktunya saya harus masuk kamar dan tidur. Enggak kayak anak-anak sekarang yang kebanyakan baru tidur diatas pukul 21.00 WIB.

Serial Unyil cukup mengaduk-aduk emosi saya waktu itu. Saya tumbuh bersama Unyil, pak Ogah, Melani dan Pak Raden. Begitu membekas di otak saya bagaimana karakter Bu Bariyah si penjual gado-gado dan Pak Ogah yang suka mintain duit cepek berkembang. Masing-masing lakon serial ini begitu kuat sampai-sampai saya pasti nyelethuk "Ah dasar Pak Raden," jika ada orang yang lebih tua galak. Salah satu hal yang mengajari saya tentang toleransi adalah pluralisme yang ditunjukkan oleh Melani dan Unyil. Ada yang Natalan dan Lebaran. Hal-hal ini yang kini hilang di tayangan-tayangan nasional kita jaman sekarang.  Bisa jadi kalau kedua hal ini dipadukan dalam satu frame malah akan membawa cercaan di sekelumit kalangan. Yakin deh.

Saya sampai belajar menonton sinetron dan tayangan hiburan tanah air loh hanya untuk membandingkan tontonan jaman dulu dan jaman sekarang. Kurang kerjaan memang. Tapi saya jadi bisa memahami, bahwasanya kita mengalami kemunduran mental dan emosional gara-gara tayangan-tayangan itu (sory no offense yaa nyahahaha). Empat hari ini adalah hari terparah dan saya belum bisa membedakan dua judul sinetron yang berbeda. Karena sama semuaaaaa. Karakternya sama, tokohnya sama, efek suaranya juga sama (yang mana ketika kamera meng-close up tokoh yang sedang mendelik-ndelik, maka efek suaranya akan seperti jeng jeng jeeeeng).

Yang jelas banyak karakter-karakter yang memperagakan bagaimana berkacak pinggang yang baik dan benar ketika sedang marah-marah. Atau memperagakan bagaimana melancarkan modus balas dendam sambil mendengus-ndengus dan merencanakan sesuatu yang jahat. Saya langsung nyeri kepala hebat dan saya sudahi riset saya daripada saya ikutan linglung. Berbeda dengan sinetron mBangun Deso yang selalu saya nanti bersama keluarga. Saking kuatnya karakter Den Baguse Ngarso, saya selalu melihat Pak Susilo Nugroho sebagai Den Baguse Ngarso yang nyenyengit, pelit, dan keminter. (Hehehehe no offense ya Paakkkk .. I lop u deh).

Kemudian ada karakter Pak Bina yang diperankan oleh Heru Kesawa Murti yang digambarkan sebagai panutan desa, yang selalu ada dan memberikan binaan ketika masyarakat datang dan mengeluh. Ada juga tokoh Sronto dan Yu Sronto yang lugu dan polos. Jangan lupakan Kuriman yang selalu emosi tapi masih bisa meredakan amarah Den Baguse Ngarso. Tayangan ini kala itu memang ngetop dan dinanti-nanti karena mungkin tidak ada sinetron tandingan. Tapi jika serial ini ditayang ulang di jaman sekarang dimana banyak saingannya, saya tetap memilih Mbangun Deso sebagai tontonan rutin.  

Sinetron yang tayang di TVRI pada era 90'an ini menjadi satu-satunya sinetron yang menurut saya layak untuk ditonton meskipun didalam ceritanya ada selipan program-program pemerintah mulai dari bidang kesehatan hingga ekonomi. Toh ndak perlu sudut-sudut pengambilan gambar yang ekstrem untuk menghasilkan tayangan yang membina.  Bahkan visualisasi kartun serial tentang kambing masih lebih bagus daripada sinetron kolosal yang peperangannya dengan mahkluk jejadian digitalisasi.

Hal yang sama juga terjadi pada tayangan hiburan musik abal-abal. Saya mendambakan acara-acara hiburan ala MTV yang dipadu Sarah Sechan dan Jamie Aditya, dimana acara musik adalah acara musik, bukan acara banyolan yang diselipi musik. Sebelum statiun tv swasta muncul (pertama kali nonton TV swasta, saya masih kagum dengan iklan komersialnya loh), TVRI sudah punya Aneka Ria Savari. Namun yang paling nyanthol di benak saya ya MTV itu. Pertama kali melihat Jamie Aditya di MTV saat SMA dimana hormon puber sedang menjadi-jadi .. aduhai. Nah yang terjadi sekarang adalah statiun TV swasta kita yang menjadi latah. Saking latahnya, pemandu acara "keroyokan" yang ditampilkan pun sama atau disama-samakan. Kenapa musti keroyokan.  

Dulu dan sekarang memang beda. Jika dulu kita hanya disuguhi TVRI dan Dunia Dalam Berita-nya, sekarang kita punya banyak pilihan statiun TV swasta. Tapi pada akhirnya sama juga, kita tidak mendapat hiburan yang bervariasi. Yang ditayangkan kalau nggak tayangan joget masal yang latah, acara banyol-banyolan semau gue, dan sinetron yang tiada mati bulu matanya. Sama aja kan. Jadi pilihannya apa. Membawa memori 90'an ke jaman ini itu harus demi kesehatan emosional. Pada akhirnya yang terjadi adalah kita harus merogoh kocek untuk tayangan yang bermutu lewat TV berbayar. 

.. Ah nonton gratisan kok minta bermutu ..

Salam Prihatin,
Atha Ajo