Translate

Rabu, 08 Januari 2014

Back to the 90's Part II



Saya besar di era 90'an. Jadi saya masih sempat menikmati hiburan yang meskipun dianggap lawas dan enggak moderen (pada saat ini) tapi menyuguhkan berbagai elemen yang saya kira justru lebih mendidik. Biar dikata dulu cuma ada statiun TVRI saat saya TK dan SD, tapi saya tetap bersyukur. Beberapa acara yang menjadi favorit saya adalah Unyil dan Bangun Desa. Kemudian ada Aneka Ria Safari yang menampilkan artis artis lawas. Ah Atiek CB .. Dan saya yang masih duduk di kelas 1 SD akan galau jika soundtrack "Dunia Dalam Berita" berkumandang. Itulah waktunya saya harus masuk kamar dan tidur. Enggak kayak anak-anak sekarang yang kebanyakan baru tidur diatas pukul 21.00 WIB.

Serial Unyil cukup mengaduk-aduk emosi saya waktu itu. Saya tumbuh bersama Unyil, pak Ogah, Melani dan Pak Raden. Begitu membekas di otak saya bagaimana karakter Bu Bariyah si penjual gado-gado dan Pak Ogah yang suka mintain duit cepek berkembang. Masing-masing lakon serial ini begitu kuat sampai-sampai saya pasti nyelethuk "Ah dasar Pak Raden," jika ada orang yang lebih tua galak. Salah satu hal yang mengajari saya tentang toleransi adalah pluralisme yang ditunjukkan oleh Melani dan Unyil. Ada yang Natalan dan Lebaran. Hal-hal ini yang kini hilang di tayangan-tayangan nasional kita jaman sekarang.  Bisa jadi kalau kedua hal ini dipadukan dalam satu frame malah akan membawa cercaan di sekelumit kalangan. Yakin deh.

Saya sampai belajar menonton sinetron dan tayangan hiburan tanah air loh hanya untuk membandingkan tontonan jaman dulu dan jaman sekarang. Kurang kerjaan memang. Tapi saya jadi bisa memahami, bahwasanya kita mengalami kemunduran mental dan emosional gara-gara tayangan-tayangan itu (sory no offense yaa nyahahaha). Empat hari ini adalah hari terparah dan saya belum bisa membedakan dua judul sinetron yang berbeda. Karena sama semuaaaaa. Karakternya sama, tokohnya sama, efek suaranya juga sama (yang mana ketika kamera meng-close up tokoh yang sedang mendelik-ndelik, maka efek suaranya akan seperti jeng jeng jeeeeng).

Yang jelas banyak karakter-karakter yang memperagakan bagaimana berkacak pinggang yang baik dan benar ketika sedang marah-marah. Atau memperagakan bagaimana melancarkan modus balas dendam sambil mendengus-ndengus dan merencanakan sesuatu yang jahat. Saya langsung nyeri kepala hebat dan saya sudahi riset saya daripada saya ikutan linglung. Berbeda dengan sinetron mBangun Deso yang selalu saya nanti bersama keluarga. Saking kuatnya karakter Den Baguse Ngarso, saya selalu melihat Pak Susilo Nugroho sebagai Den Baguse Ngarso yang nyenyengit, pelit, dan keminter. (Hehehehe no offense ya Paakkkk .. I lop u deh).

Kemudian ada karakter Pak Bina yang diperankan oleh Heru Kesawa Murti yang digambarkan sebagai panutan desa, yang selalu ada dan memberikan binaan ketika masyarakat datang dan mengeluh. Ada juga tokoh Sronto dan Yu Sronto yang lugu dan polos. Jangan lupakan Kuriman yang selalu emosi tapi masih bisa meredakan amarah Den Baguse Ngarso. Tayangan ini kala itu memang ngetop dan dinanti-nanti karena mungkin tidak ada sinetron tandingan. Tapi jika serial ini ditayang ulang di jaman sekarang dimana banyak saingannya, saya tetap memilih Mbangun Deso sebagai tontonan rutin.  

Sinetron yang tayang di TVRI pada era 90'an ini menjadi satu-satunya sinetron yang menurut saya layak untuk ditonton meskipun didalam ceritanya ada selipan program-program pemerintah mulai dari bidang kesehatan hingga ekonomi. Toh ndak perlu sudut-sudut pengambilan gambar yang ekstrem untuk menghasilkan tayangan yang membina.  Bahkan visualisasi kartun serial tentang kambing masih lebih bagus daripada sinetron kolosal yang peperangannya dengan mahkluk jejadian digitalisasi.

Hal yang sama juga terjadi pada tayangan hiburan musik abal-abal. Saya mendambakan acara-acara hiburan ala MTV yang dipadu Sarah Sechan dan Jamie Aditya, dimana acara musik adalah acara musik, bukan acara banyolan yang diselipi musik. Sebelum statiun tv swasta muncul (pertama kali nonton TV swasta, saya masih kagum dengan iklan komersialnya loh), TVRI sudah punya Aneka Ria Savari. Namun yang paling nyanthol di benak saya ya MTV itu. Pertama kali melihat Jamie Aditya di MTV saat SMA dimana hormon puber sedang menjadi-jadi .. aduhai. Nah yang terjadi sekarang adalah statiun TV swasta kita yang menjadi latah. Saking latahnya, pemandu acara "keroyokan" yang ditampilkan pun sama atau disama-samakan. Kenapa musti keroyokan.  

Dulu dan sekarang memang beda. Jika dulu kita hanya disuguhi TVRI dan Dunia Dalam Berita-nya, sekarang kita punya banyak pilihan statiun TV swasta. Tapi pada akhirnya sama juga, kita tidak mendapat hiburan yang bervariasi. Yang ditayangkan kalau nggak tayangan joget masal yang latah, acara banyol-banyolan semau gue, dan sinetron yang tiada mati bulu matanya. Sama aja kan. Jadi pilihannya apa. Membawa memori 90'an ke jaman ini itu harus demi kesehatan emosional. Pada akhirnya yang terjadi adalah kita harus merogoh kocek untuk tayangan yang bermutu lewat TV berbayar. 

.. Ah nonton gratisan kok minta bermutu ..

Salam Prihatin,
Atha Ajo

               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar