Translate

Sabtu, 19 Oktober 2013

Kampung Halamanku Hilang Part I

"Ketika kampung halaman berubah menjadi penuh keglamoran, maka rasa kangen itu perlahan sirna"
 
Ini menjadi kali keempat saya pulang ke tanah kelahiran Yogyakarta di tahun 2013. Seharusnya saya gembira ketika ada kabar bahwa saya harus pulang ke Jogja. Tapi nyatanya kok enggak. Bagi saya yang merantau jauh di pulau seberang, pulang kampung itu akan menjadi ideal jika dilakukan maksimal dua kali setahun. Tapi karena saya tidak diperbolehkan "sendirian" di tanah perantauan selama sebulan sementara sang suami tugas di luar, maka saya dipaksa untuk pulang lagi. Ya wess antara senang dan galau.

Ada banyak yang membuat saya galau. Dan semakin gelisah ketika kembali ke kota yang telah membesarkan saya ini. Aduuuhhhhh ... dulu enggak kayak gini loh kotanya. Itu salah satunya. Saya sudah tidak merasa nyaman lagi untuk berlalu lalang di kota yang istimewa ini. Ah apa iya masih istimewa? Yakin?  Embooohhh ...

Zaman dahulu kala, enggak kala kala banget, saya masih mendapati jalan malioboro mulai menghijau meski dilanda macet. Setidaknya perubahan kecil pada pot-pot tanaman dan lampu taman di pinggir jalan itu mampu memanjakan mata di tengah riuh knalpot dan polusi. Tapi saya kaget tatkala pot-pot beserta tanaman dan lampunya hilang. Rata. Sepet.

Kali ini saya dijemput rombongan saat tiba di bandara. Untungnya jalanan enggak macet parah. Mungkin karena hujan. Ada banyak gedung-gedung asing yang sama lewati selama perjalanan pulang kerumah. Lalu beberapa bangunan berubah fungsi. Ada beberapa hotel baru. Perkembangan cafe dan tempat tongkrongan pun begitu masiv. 

Parahnya semakin banyak pengendara yang mencoba menjadi Rossi. Emangnya ini jalanan sirkuit milik nenek loo?? Lampu traffic light sudah berubah menjadi traffic sirkuit. Sekalinya ijo, beberapa pengendara langsung tancap gas poll ngepot, cepet-cepetan siapa yang nyampe duluan ke traffic light berikutnya.  Belum lagi kalau macet. Jakarta wannabe kayaknya. Banyaknya pengendara (mobil dan motor) tidak diimbangi dengan lebar jalan yang sempit.

Lalu saya mendapat kabar dari keluarga saya. Mereka mewanti-wanti saya untuk berhati-hati ketika berada di jalanan pada malam hari sendirian. "Jangan keluar malam ya, Jogja sekarang sudah berubah, enggak kayak dulu. Makin banyak yang nekat di jalanan kalau malam," kata Mamah saya. Mereka lantas bercerita jika beberapa waktu lalu ada orang yang berusaha memalak sepupu saya di depan rumah. Iya di depan rumah. Tapi untungnya upaya itu gagal.

Saya gelisah dan sedih. Apa iya kota yang mengajarkan saya tentang "unggah-ungguh" ini sudah sebegitu berubah. Semoga belum benar-benar hilang. Semoga cuma ketlingsut. 



Salam Jogja Istimewa, 
Dibawah naungan lampu teplok dan secangkir teh nasgitel  

  

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar