Translate

Sabtu, 12 Oktober 2013

Sabak Digital dan Konferensi Meja Bundar

Semakin modern, semakin individual. Ini sih teori ngawur saya. Modern dalam tataran dunia sekarang ini dalam pengertian saya merujuk pada teknologi gadget. Masalahnya saya sering dibilang tidak modern karena tidak memiliki gadget seri terbaru. Gadget paling canggih yang saya miliki adalah Galaxy Wonder terbitan negeri asal Super Junior yang masih berada di level roti jahe alias versi gingerbread. Saya masih pikir-pikir untuk membeli gadget versi terbaru. Selain harganya bikin boros dompet, hape saya yang lama masih bisa dipakai. 

Yang terjadi saat ini adalah para muggle sedang gandrung dengan sabak digital berbagai ukuran. Ini bukan sabak era R.A. Kartini yang digunakan untuk belajar menulis menggunakan kapur. Nah gara-gara tak memiliki benda ini, saya dilabeli tidak modern. Ah modern apa enggak, toh saya masih bisa sms'an sama Whatsapp'an plus telponan. Ada sih emba-embak make tablet buat telpon ditempelin di kuping. Aneh gitu ngeliatnya.

Pada perkembangannya, benda ini mampu menaikkan gengsi pemiliknya. Cuma sekedar ditenteng di tangan aja udah bikin pamor naik kok, padahal orangnya bawa tas gedhe. Atau saya-nya aja kali yang iri dan dengki karena enggak punya tablet. 

Pernah suatu kali niat banget untuk beli dengan alasan memudahkan membaca email kerjaan dan kesigapan orderan menulis review dari bos Jepang pujaan hati. Dana udah ada tapi niatnya ilang. Gegara terlalu pikir panjang. "Buat apa?? .. kalo cuma buka email kan masih bisa pakai yang gingerbread. Masak iya pas jalan-jalan mau nulis juga. Mendingan pakai notebook kalau buat nulis," begitu kata hati nurani. Cieeehhh aseloleee ..

Virus-virus sabak digital ini rupanya sudah menjangkiti semua usia. Anak-anak usia SD pun sudah menenteng tablet kesana kemari. Buat apaaaa??? Yang jelas buat mainan. Sementara yang remaja labil menggunakannya juga untuk mainan selain untuk media sosial. Sedangkan orang dewasa menggunakannya untuk mainan, bersosialisasi, dan kerjaan. Ini lagi-lagi teori ngawur saya sesuai dengan apa yang saya lihat sekilas.

Iyaaaa .. enggak salah. Saya cuma risih tatkala mata orang selalu tertuju pada layar tablet dimanapun mereka berada. Enggak ada kerjaan lain apa. Para muggle seperti sudah diguna-guna oleh benda ini. Saya bilang kecanduan, sampai-sampai lepas sedetikpun bakal bikin galau hati. Pernah saya ngeliat mas-mas parlente di sebuah rumah makan. Kayaknya sih pegawai kantoran (mainstream banget sih pikiran saya). Emangnya kalo make kemeja lengan panjang pas body terus dimasukin celana kain yang pas body juga itu orang kantoran? Siapa tau cuma iseng make kostum ala kantoran. 

Si mas-mas datang bersama embak-embak ala Girls generation, kostum bulu-bulu dan rambut bergelombang coklat muda. Gampang diduga, setelah duduk lalu pesan makanan dan keluarkan gadget. Wah kayaknya bos neh. Ada Blackberry, Apple, dan tablet Samsung berjejer di meja kayak mau jualan (buka toko mas?? iiiihhhh iriiii iriiiiii). Hapal kan saya. Ya iyalah orderan menulis review tentang gadget, gimana enggak hapal. Keduanya sibuk luar biasa sama gadgetnya masing-masing. Setiap menit gadgetnya dilihat satu persatu. Bos dooooooooonggggg. 

Pas saya lewat kebetulan gadgetnya nyala semua. Ketahuan dong sibuk ngapaiiiiiiiin. Enggak tahunya mas-nya sibuk mainan di tabletnya, trus nge-twiter di gadget lain, dan facebookan di gadget satunya. Sementara si embak sibuk mainan Angry Birds. Duuhhhh segitunyaaaa sibuk. Saya juga sering begitu kok, tapi kalo pas lagi nunggu pesawat di ruang tunggu. Itupun kalo sendirian dan pas komik yang saya baca habis.

Paling menguras perhatian jika saya menemui "konferensi meja bundar" di sebuah cafe. Para muda-mudinya yang mengelilingi meja bundar asyik dengan gadgetnya sendiri-sendiri. Nah loh mereka lebih memilih memasang status atau mainan ketimbang ngobrol. Hanya sesekali terucap "Eh aku pasang status loohhh kita lagi disini ... komen dong komen dong," Laaaaaaaa (iyaa saya tahu, nguping sama ngintip itu enggak boleh. Tapi kan bukan salah saya kalau itu terlihat dan terdengar dengan jelas. Iya kaaannn).

Pada akhirnya, bagi saya, keberadaan sabak digital dan gadget lainnya menjadi berlebihan ketika kehadirannya menyita perhatian dan menginterupsi interaksi (komunikasi) lisan antar sesama. Dimana saya menyimpulkannya sekilas sebagai dua orang atau lebih saling bercaka-cakap sambil bertatap muka. Tentunya artinya lebih luas dari ini kalau mau dibahas. Kuliah dah jadinya. Baca aja buku Komunikasi yaa. 

Ah saya lantas ingat .. pantas saja kampung halaman saya sepi. Permainan-permainan tradisional yang melibatkan anak-anak sudah punah digantikan dengan permainan modern di sabak digital. Kalaupun para anak ini ketemu, bawaannya tablet dan sibuk sendiri ngejogrok duduk melingkar di pojokan. 



Salam Damai   

     
  

     

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar