Translate

Sabtu, 07 Desember 2013

Menulis itu ...

"Menertawakan tulisan kita saat awal-awal menulis dulu kala juga merupakan sebuah proses"


Nah setelah sekian bulan tidak mengisi blog ini, akhirnya saya mengisinya lagi. Ada banyak catatan sebenarnya yang ingin saya tumpah ruahkan di blog ini. Duileeeee .. minuman kalee tumpah. Maksud hati ingin update blog saat saya "cuti" di Jogja selama sebulan. Iya cuti sebulan mbabu. Cuma sayangnya di Jogja banyak kegiatan antar jemput kesana kemari yang bikin saya kecapekan akut. Udah nggak bisa buat mikir. Ditambah noh orang-orangnya yang sekarang punya tagline "Lebih Nyaman Naik Kendaraan Pribadi daripada Angkutan Umum". Bikin macet .. dimana-mana bertebaran mobil murah. Jadi bawaannya pengen meluk bantal sama guling dan mengepak-ngepakkan tangan di kasur yang dingin diiringi derai hujan.  

Di akhir masa cuti, suami ternyata menyusul ke Jogja. Katanya kepengen senang-senang dan foya-foya. Saya sambut dengan gembira pula. Kebetulan teman suami saya asal Nunukan Kalimantan Timur yang masih muda belia menuntut ilmu di Jogja. Brondong, putih dan ganteng ... waahh saya takjub. Kami ngangkring sejenak bersama dikbro ganteng itu. Usut punya usut, si dikbro kepengen jadi penulis. Dia sempat mengungkapkan bahwa menulis itu syulit. Sulit menuangkan pemikiran dalam tulisan.  Sulit memulai darimana .. sulit .. sulit .. sulit.

Bagi saya, menulis itu gampang-gampang susah. Bisa gampang, bisa susah. Tapi jika kamu sedang memulai pengalaman menulismu, jangan pernah berpikir bahwa menulis itu sulit karena kamu pasti tidak akan pernah memulai menulis. Enggak usah muluk-muluk menulis ala Plato atau Sokrates. Juga nggak perlu memikirkan teknik menulis yang mendayu-dayu dulu. Saya sendiri sampai sekarang masih bingung dengan apa itu sastra. 

Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. [Wikipedia]

Kalau menurut Robert Scholes, sastra itu sebuah kata bukan sebuah benda. Kalau saya yang penting nulis, merangkai kata yang menurut saya klop. "Nah merangkai kata yang bisa klop itu yang susah," kata seorang kawan. Langsung saja saya sambar "Tapi kamu lulus SMA kan?". Masak iya jaman SMA nggak dikasih pelajaran mengarang indah. Sejelek-jeleknya karanganmu di mata guru, toh itu tulisanmu. Kalau perlu tertawakan sendiri tulisanmu. Masalah sempurna atau tidak, bagi saya itu relatif. Banyak kok tulisan-tulisan yang dianggap tidak sempurna oleh sebagian orang tapi ternyata justru menarik perhatian orang lain. 

Apa saja bisa menjadi tulisan. Kalau kata pemred saya dulu yang sudah almarhum, kentutpun bisa menjadi tulisan. Ketik saja apa yang ada di dalam otakmu. Kalau enggak punya laptop ya pakai notes. Kalau enggak punya media penyalur, ya pakai saja Facebook atau Blog. Nah jangan pandang sebelah mata sebuah diary karena itu juga menjadi media penyaluranmu. Gampangnya menulis status di Facebook juga bisa menjadi cikal bakalmu untuk menulis.

Jika otakmu sedang memikirkan "Aku cinta dia", ya tulis saja Aku Cinta Dia. Atau jika kamu sedang ingin menulis cerita dan di otakmu hanya terlintas "Itu adalah Ayahku", ya tulis saja demikian. Atau jika ingin versi yang lebih panjang agar syarat jumlah kata terpenuhi, tulis saja Lelaki yang berdiri di tikungan mengenakan jaket coklat dan membawa sekuntum mawar merah dengan muka merengut itu adalah Ayahku. 

Jadi menulislah dengan mudah. Jangan membebani otakmu dengan tulisan-tulisan ala Paulo Coelho. Cukup jadikan itu inspirasimu. Jangan pula berpikir bahwa membuat tulisan itu harus mendayu-dayu. Atau merangkai dengan kata-kata asing yang njlimet yang kamu sendiri malah enggak ngerti arti sebenarnya. Bisa-bisa kamu justru terjerumus dalam bahasa Vickynisasi. Maksud hati kepengen nulis keren, tapi malah salah pengertian. Ini adalah proses kok. Ketika kamu menertawakan tulisanmu sendiri, maka kamu pasti akan tergerak untuk memperbaikinya. Ujung-ujungnya kamu bisa menemukan gaya menulismu sendiri. Enjoy saja .. nah nggak perlu niru gayanya Paulo Coelho kan!!!


Salam,
Diantara dua baris sinyal

Atha Ajo 


    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar