The Horison ~Awal Mula~
Ben sudah menungguku di Antartika, maaf aku terlambat. Memandang wajah
Ben cerah, membuatku tersenyum. Indah dunia. Ia duduk bersila di depan
api unggun mungil, berwarna merah biru, hangat.
“Kau terlambat,” kata Ben.
“Maaf .. Aku harus melewati empat penjuru mata angin Ben, itu tidak mudah,” jawabku.
Aku
duduk di samping Ben. Jemarinya meraih jemariku, menggenggam erat. Satu
jam kami duduk di depan api unggun mungil, aku merebahkan kepalaku di
pundaknya. Tubuhku menghangat, bukan dari api unggun mungil itu, tapi
dari tubuh Ben.
Disinilah rumah kami sekarang. Di kaki langit,
zona ufuk yang tak terjamah oleh apapun. Tidak ada hitam atau putih,
karena hanya ada pelangi disini. Warna-warna itu mengikat aku dan Ben.
Sesekali
Ben menghela nafas, mengerjap-ngerjapkan matanya. Memandang lurus
kedepan, kemudian mengarahkan pandangannya ke wajahku. Ben berujar
“Jangan pergi, tetap disini, di kaki langit, bersamaku,”
Aku
melihat Ben, cemas tersirat diwajahnya. “Ketika aku sampai disini, aku
tidak bisa kembali lagi Ben. Kau sudah menggenggamku,”
“Maaf kau
harus melewati empatpenjuru mata angin itu .. Tapi dengan begitu aku
bisa terbebas, tidak lagi hitam atau putih, karena kau. Aku tahu hendak
bersandar kemana. Menggenggam’mu, memelukmu, menjagamu. Melindungimu
dari empat penjuru mata angin. Bersama nafasmu, bersama tubuhmu, aku
menaruh jiwaku. ” ujarnya.
***
The Horison ~Surat Dari Negeri Dingin~
Aku melihat awan gelap, bergulung, menggerombol. Sungguh hari yang suram
kala itu. Setitik dua titik air yang jatuh dari awan gelap itu
menyentuh jendela kamarku. Semakin suram. Tapi aku melihat pelangi di
ujung ufuk sana.
Satu titik yang semakin membesar datang dari arah pelangi itu
berada. Semakin besar dan mulai membentuk seekor burung, dengan
bulu-bulu mirip pelagi. Di kakinya menggantung sebuah gulungan berwarna
coklat. Mahkluk ini terbang naik turun di depan jendela, jadi aku
mengambilnya.
Aku membetulkan selimut tebal yang membungkus tubuhku. Melihat
gulungan itu tergenggam di tanganku. Saat membukanya, aku menemukan Ben
disana. Surat Ben dari negeri dingin.
"Berdiri jauh dari tempatmu berada. Aku tahu kau sedang menatap
pelangi di ujung ufuk, di kaki langit. Disini hampa. Standing underneath
the stars and wish you were here.
Di kaki langit aku bisa merasakan detak jantungmu, nafasmu dan
tubuhmu. Lekukmu tergores jelas di warna-warna pelangi itu. Just know
that wherever you are, I miss you.
Ingin merasakanmu, ingin menggapaimu, ingin merengkuhmu. Ingin
berada disana, dan berada disini bersamamu. Inilah suara hatiku.
Nafasmu dan nafasku, tubuhmu dan tubuhku. Jiwamu dan jiwaku. Berbaur
dalam satu cawan. Aku ingin menutupnya, agar jiwamu tidak pergi, agar
nafasmu tetap menjadi nafasku, agar tubuhmu tetap berada didalam
tubuhku.
Saat Phoenix menjemputmu, kuingin kau mengikutinya. Naiklah ke
punggungnya. Maka ia akan membawamu kepadaku. Saat itu aku akan berada
di sekitarmu, menjagamu.
Aku akan menunggumu di depan api unggun mungil, di kaki langit, di ujung ufuk.
Kekasihmu, Ben
"
Aku menutup gulungan itu. Kembali merapatkan selimut yang membungkus
tubuhku. Dalam satu titik di seberang sana, aku melihat Phoenix. Hujan
tidak membasahi bulunya kurasa. Tak bergeming.
***
The Horison ~Pengakhiran~
Disinilah aku, berdiri diujung Horison yang tak bisa disentuh oleh siapapun. Berada dalam gemilang tawa dan gemerlap canda.
Disinilah aku, menyusuri sungai-sungai horizon. Menikmati air segar bersama Ben. Tidak ada istilah-istilah menjemukan.
Disinilah
aku, berdiri diujung Horison menikmati kegelisahanmu diujung hitam
sana. Menikmati segala rintihanmu yang tak kunjung padam.
Disinilah aku, memandang belas kasihan padamu. Memandang segala omong kosong hidupmu. Memandang segala tawamu yang palsu.
Disinilah
aku, berdiri di ujung horizon yang tidak bisa kau sentuh. Setiap kali
kau memandang ke ujung horizon, kau hanya merasa hampa dan sakit.
Disinilah aku, berdiri di ujung horizon. Menjadi kegelisahanmu yang teramat sangat.
Disinilah
aku, diujung horizon. Menjadi pertanda kecemasanmu saat matahari
terbit. Kau tidak akan mampu melihat ke utara ataupun selatan. Bahkan
kau tidak berdaya melihat kea rah barat dan timur.
Disinilah
aku, diujung horizon. Satu titik dimana kau selalu mengarahkan matamu.
Satu titik dimana kau merasakan kesakitan yang teramat sangat. Satu
titik yang akan memberimu mimpi buruk.
Disinilah aku,
berdiri diujung horizon. Akan menjadi mimpi buruk sepanjang hidupmu. Setiap
nafas yang kuhembuskan akan menjadi kegelisahanmu. Teruslah merana ketika kau mengingatku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar