Translate

Sabtu, 31 Agustus 2013

Kompilasi Abstrak dari Catatan Tersembunyi

The Horison ~Awal Mula~

Ben sudah menungguku di Antartika, maaf aku terlambat. Memandang wajah Ben cerah, membuatku tersenyum. Indah dunia. Ia duduk bersila di depan api unggun mungil, berwarna merah biru, hangat.
“Kau terlambat,” kata Ben.
“Maaf .. Aku harus melewati empat penjuru mata angin Ben, itu tidak mudah,” jawabku.

Aku duduk di samping Ben. Jemarinya meraih jemariku, menggenggam erat. Satu jam kami duduk di depan api unggun mungil, aku merebahkan kepalaku di pundaknya. Tubuhku menghangat, bukan dari api unggun mungil itu, tapi dari tubuh Ben.

Disinilah rumah kami sekarang. Di kaki langit, zona ufuk yang tak terjamah oleh apapun. Tidak ada hitam atau putih, karena hanya ada pelangi disini. Warna-warna itu mengikat aku dan Ben.

Sesekali Ben menghela nafas, mengerjap-ngerjapkan matanya. Memandang lurus kedepan, kemudian mengarahkan pandangannya ke wajahku. Ben berujar “Jangan pergi, tetap disini, di kaki langit, bersamaku,”

Aku melihat Ben, cemas tersirat diwajahnya. “Ketika aku sampai disini, aku tidak bisa kembali lagi Ben. Kau sudah menggenggamku,”

“Maaf kau harus melewati empatpenjuru mata angin itu .. Tapi dengan begitu aku bisa terbebas, tidak lagi hitam atau putih, karena kau. Aku tahu hendak bersandar kemana. Menggenggam’mu, memelukmu, menjagamu. Melindungimu dari empat penjuru mata angin. Bersama nafasmu, bersama tubuhmu, aku menaruh jiwaku. ” ujarnya.

***

The Horison ~Surat Dari Negeri Dingin~

Aku melihat awan gelap, bergulung, menggerombol. Sungguh hari yang suram kala itu. Setitik dua titik air yang jatuh dari awan gelap itu menyentuh jendela kamarku. Semakin suram. Tapi aku melihat pelangi di ujung ufuk sana.

Satu titik yang semakin membesar datang dari arah pelangi itu berada. Semakin besar dan mulai membentuk seekor burung, dengan bulu-bulu mirip pelagi. Di kakinya menggantung sebuah gulungan berwarna coklat. Mahkluk ini terbang naik turun di depan jendela, jadi aku mengambilnya.

Aku membetulkan selimut tebal yang membungkus tubuhku. Melihat gulungan itu tergenggam di tanganku. Saat membukanya, aku menemukan Ben disana. Surat Ben dari negeri dingin.

"Berdiri jauh dari tempatmu berada. Aku tahu kau sedang menatap pelangi di ujung ufuk, di kaki langit. Disini hampa. Standing underneath the stars and wish you were here.

Di kaki langit aku bisa merasakan detak jantungmu, nafasmu dan tubuhmu. Lekukmu tergores jelas di warna-warna pelangi itu. Just know that wherever you are, I miss you.

Ingin merasakanmu, ingin menggapaimu, ingin merengkuhmu. Ingin berada disana, dan berada disini bersamamu. Inilah suara hatiku.

Nafasmu dan nafasku, tubuhmu dan tubuhku. Jiwamu dan jiwaku. Berbaur dalam satu cawan. Aku ingin menutupnya, agar jiwamu tidak pergi, agar nafasmu tetap menjadi nafasku, agar tubuhmu tetap berada didalam tubuhku.

Saat Phoenix menjemputmu, kuingin kau mengikutinya. Naiklah ke punggungnya. Maka ia akan membawamu kepadaku. Saat itu aku akan berada di sekitarmu, menjagamu.

Aku akan menunggumu di depan api unggun mungil, di kaki langit, di ujung ufuk.

Kekasihmu, Ben
"


Aku menutup gulungan itu. Kembali merapatkan selimut yang membungkus tubuhku. Dalam satu titik di seberang sana, aku melihat Phoenix. Hujan tidak membasahi bulunya kurasa. Tak bergeming.

***

The Horison ~Pengakhiran~

Disinilah aku, berdiri diujung Horison yang tak bisa disentuh oleh siapapun. Berada dalam gemilang tawa dan gemerlap canda.

Disinilah aku, menyusuri sungai-sungai horizon. Menikmati air segar bersama Ben. Tidak ada istilah-istilah menjemukan.

Disinilah aku, berdiri diujung Horison menikmati kegelisahanmu diujung hitam sana. Menikmati segala rintihanmu yang tak kunjung padam.

Disinilah aku, memandang belas kasihan padamu. Memandang segala omong kosong hidupmu. Memandang segala tawamu yang palsu.

Disinilah aku, berdiri di ujung horizon yang tidak bisa kau sentuh. Setiap kali kau memandang ke ujung horizon, kau hanya merasa hampa dan sakit.

Disinilah aku, berdiri di ujung horizon. Menjadi kegelisahanmu yang teramat sangat.

Disinilah aku, diujung horizon. Menjadi pertanda kecemasanmu saat matahari terbit. Kau tidak akan mampu melihat ke utara ataupun selatan. Bahkan kau tidak berdaya melihat kea rah barat dan timur.

Disinilah aku, diujung horizon. Satu titik dimana kau selalu mengarahkan matamu. Satu titik dimana kau merasakan kesakitan yang teramat sangat. Satu titik yang akan memberimu mimpi buruk.

Disinilah aku, berdiri diujung horizon. Akan menjadi mimpi buruk sepanjang hidupmu. Setiap nafas yang kuhembuskan akan menjadi kegelisahanmu. Teruslah merana ketika kau mengingatku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar