Translate

Rabu, 25 Juni 2014

The Wicked



Kadang-kadang aku berpikir bahwa aku adalah anak adopsi. Ada hari-hari ketika aku yakin benar akan hal ini. Hidupku benar-benar payah!!

Contohnya pagi ini. Drama dimulai ketika aku meminta Ibuku untuk membelikan iPhone terbaru. Katanya penyihir tidak butuh teknologi seperti itu. Ibuku bilang kami hanya butuh telepati untuk saling memberi kabar. Tapi nyatanya sampai umurku menjelang 16 tahun, kemampuan itu juga belum muncul. 

Aku benar-benar kesal jika melihat anggota keluargaku dengan mudah cring-cring dan tiba-tiba punya barang baru yang keren-keren. Sementara kemampuan cring-cringku hanya sebatas menggerakkan gelas. Itupun hanya sepanjang 5 centimeter. Sepertinya aku tidak berguna. Payah!

Hampir semua temanku punya benda itu. Kecuali Jon, remaja kurus berkacamata dan berkawat gigi yang sudah setahun menjadi teman sekelasku. Kadang kami nekat mengajak cewek-cewek popular di sekolah untuk kencan, yang ujung-ujungnya kami babak belur karena dihajar pacar cewek-cewek itu. Mana bisa aku menyaingi pacar cewek-cewek itu jika aku tidak punya benda itu.   

Ibuku terus mengoceh betapa belajar di sekolah lebih penting daripada mengurusi benda yang katanya tak berguna itu. “Kau harus sekolah,” begitu kata Ibu.

Aku sebetulnya tidak ingin belajar di sekolah konvensional yang harus berbaur dengan para manusia. Aku ingin belajar dirumah seperti kedua kakakku yang tidak perlu repot-repot menyembunyikan jati dirinya. Atau belajar di sekolah penyihir seperti di buku Harry Potter. Tapi itu hanya karangan. Kami para penyihir harus berbaur dengan manusia.

Dan faktanya aku adalah penyihir terpayah didunia.

Namaku hanya terdiri dari empat huruf, Jedi. Karena sama-sama memiliki awalan J, aku dan Jon dijuluki si kembar moron di sekolah. Kalau kau tanya kenapa namaku hanya terdiri dari empat huruf itu, silahkan tanya kedua orangtuaku. Aku selalu berlatih setiap malam untuk menjadi remaja normal. Tapi ketika aku bangun, aku tetap berjalan membungkuk dan menunduk. Jika berbicara, kata-kata yang keluar hanya "Ya" "Tidak" "Mungkin" dan "Tidak tahu". Kurasa aku selalu gugup jika berbicara sampai suaraku terdengar parau dan mendesis.

Pernah suatu kali kami, Aku dan Jon, mendekati Hanna. Cewek popular di sekolah yang juga satu kelas dengan kami. Siapa tau salah satu dari kami beruntung. Tapi aku hanya berhasil mengucap kata hai dengan suara parau dan mendesis kepadanya sebelum pacarnya datang dan menghajar kami. Baiklah, itu sudah cukup. Hey .. aku tidak tau kalo dia sudah punya pacar.
"Apa yang kau pikirkan," tanya Jon sambil mengelus mulutnya yang bengkak.
"Tidak tahu," aku memang tidak tahu kenapa kami menjadi siswa yang dijauhi. 
"Ah .. kau selalu tidak tahu," lanjutnya meringis perih.
Sebetulnya semenjak berteman denganku, Jon menjadi anak terbuang. Jadi akulah masalahnya. Siapa yang tidak takut ketika sedang berbicara dengan anak remaja yang retina matanya berwarna merah. Jadi aku terpaksa menggunakan kontak lens berwarna hitam agar terlihat normal dan tidak menakutkan. Aku tidak tau Jon menyadarinya atau tidak kalau retinaku merah. Tapi setauku sih tidak. Karena Jon buta warna. Anak itu cukup beruntung bisa diterima di sekolah ini meski buta warna.

***

Sekarang sudah lewat makan malam. Dan kakak perempuanku belum pulang. Ibuku tak henti-hentinya mengoceh di depan Ayahku yang sedang asyik membaca koran. Ibuku masih khawatir dengan keberadaan pemburu yang senang membunuhi para penyihir. Tapi itu kan dulu. Para pemburu sudah tak terlihat lagi sejak dua abad yang lalu. Dulu mereka membunuhi siapa saja yang terbukti sebagai penyihir termasuk kami kaum penyihir putih yang sering kena getah karena ulah kaum penyihir hitam. 

Aku memutuskan untuk jalan-jalan sebentar. Melewati rumah Pak Robinson. Semacam ritual jika ibuku mulai mengoceh. Pria tua itu selalu duduk di teras rumahnya sambil membawa senjata laras panjang. Tapi malam ini tak tampak batang hidungnya. Aku pernah mengintip ke dalam rumahnya, dan pria tua itu menyimpan berkaleng-kaleng makanan. Sejak aku tertangkap basah suka mengintip isi rumahnya, kami menjadi tetangga yang tidak akur. Sampai-sampai mata pria tua itu tak pernah lepas mengawasiku ketika aku melewati rumahnya sampai aku menghilang di tikungan. Hey .. aku kan tidak punya niat mengambil makanan-makanan pria tua itu. Aku hanya ingin melihatnya, dan mencicipinya sedikit.

Aku tinggal di Saymore Lane, pemukiman sunyi yang lebih banyak pohonnya ketimbang rumahnya. Jalan aspal yang selalu basah karena embun dan kabut tipis yang selalu menyergap saat pagi dan baru menghilang menjelang siang. Satu-satunya hal menyenangkan dari total hidupku yang payah adalah tinggal disini. Ketika semua orang sedang terlelap, pemukiman ini menjadi semakin sunyi. Dan saat-saat itulah aku merasa lebih hidup. Aku bisa mendengarkan gurauan angin dan ranting. Dan aku merasa beberapa bintang diatas sana mengerti perasaanku yang sedang kacau. Kadang-kadang mereka mengirimkan bintangnya melesak melewati angkasa agar permohonanku terkabul. Yak .. Aku selalu memohon untuk menjadi manusia biasa saja.

Dan diujung jalan Seymore Lane ada sebuah rumah besar. Rumah itu selalu kosong dan gelap. Tapi kini beberapa lampunya menyala. Setahuku rumah itu dibiarkan kosong belasan tahun oleh pemiliknya. Misterius. Ketika aku tiba di depan rumah itu, aku melihatnya. Seseorang sedang berdiri di balkon lantai atas. Menyenderkan sikunya di pagar balkon dan dia sedang melihat ke arahku. Seorang gadis. Aku tidak tahu tentang gadis ini, tapi aku seperti mengenalnya. Hey tunggu .. jantungku mulai berdegup kencang. Bukankah gadis itu yang selalu hadir di mimpiku. Dan sekarang dia tersenyum .. aahhh manisnya. Bagaimana ini, aku tidak bisa bergerak. Aku tidak mau dianggap seperti orang aneh jika berdiri disini terus.


To be continue ..

atha ajo





Tidak ada komentar:

Posting Komentar