Translate

Minggu, 06 April 2014

Menapaki Perbatasan Part 1


"Nyawaku ada ditangan mas ojek"

Jalan-jalan saya kali ini menuju ke gerbang utara Kalimantan, sebuah pulau yang memiliki dua kedaulatan. Separuh milik Indonesia, separuhnya lagi punya Malaysia. Pulau Sebatik Indonesia ini menjadi tujuan saya nebeng jalan-jalan sama suami. Lagipula saya belum pernah melihat langsung kehidupan masyarakat di perbatasan. Menjadi lebih berkesan karena saya bisa melihat negara tetangga dan negara kita dari sudut pandang yang berbeda. Masalahnya saya kagak punya passport, jadi sulit untuk melintas perbatasan meski sekedar mengamati. Tapi katanya berbekal surat lintas negara sudah bisa masuk negara tetangga. Yaaa kita lihat saja besookkkkk. 

Belum banyak tempat yang saya explore di daerah ini. Tapi yang jelas, saya agak prihatin karena daerah yang seharusnya menjadi teras depan Indonesia ini masih bopeng sana sini. Ah ternyata sampai sekarang umur Indonesia mendekati 70 tahun pembangunannya masih Jawasentris. 

Menuju ke pulau Sebatik Indonesiapun juga butuh perjuangan. Ternyata lebih murah ke Malaysia langsung. Dari Balikpapan menggunakan pesawat kemudian disambung speedboat yang bikin punggung tengeng. Perlu waktu 3 jam bagi speedboat untuk sampai ke pulau Sebatik Indonesia. Tiga jam penuh penyiksaan karena kaki saya kepentok sandaran kursi didepan saya. Dengan badan meliuk kesana kemari bak ikan sarden, saya tertidur. Goyangan ombal itu ternyata bisa meninabobokkan saya. Hasilnya??Jangan tanya, karena ketika bangun saya langsung mual. 

Jadwal keberangkatan speedboat menuju pelabuhan se nyamuk Sebatik Indonesia ini ternyata simpang siur. Si sopir taksi yang mengantar kami dari bandara Tarakan mengatakan jadwal keberangkatan terakhir pukul 13.30 wita. Tapi ternyata jadwal terakhir keberangkatan pukul 12.00 wita. Karena tiba di pelabuhan pukul 11.45 wita, petugas loket langsung menyuruh kami naik speedboat. Sayangnya jarak antara loket dan dermaga sandar kurang lebih 100 meter. Lebih mungkin. Dan cuma kami yang jalan terseok seok mengejar waktu yang tinggal 10 menit sementara penumpang lain melenggang naik motor dan mobil menuju dermaga sandar. Waoowww .. kenek kapal ada yang mirip boyband. Rambutnyaaaaaaaa.

Menjadi antusias karena setiba di pelabuhan se nyamuk Sebatik Indonesia, saya bisa melihat wilayah negara tetangga yang terpagari. "Itu depanmu itu Tawau," kata suami saya. Ya hanya bukit bukit. Para taksi air disini siap menyambut sambil teriak "Tawau tawau .. sini mbak ke tawau,". Waaahhh saya nggak punya passport. Saya pilih naek ojek karena itu satu satunya transportasi disini. Eh saya kok enggak liat angkutan umum yaaa. Nah disinilah nyawa saya dipertaruhkan. Dari dermaga sandar, saya harus melewati jembatan kayu yang ketika dilewati motor bunyinya akan klethek klethel klethek. Melihat kenyataan bahwa di bawah jembatan kayu adalah air laut yang sedikit bergejolak, tubuh saya ikut bergejolak saat diboceng mas ojek. Duileeee mas ojeknya ngebut. Kalo disalip, mas ojeknya minggir. 
Padahal jembatannya enggak punya pagar pengaman. Jadi kalo minggir dikiiiiiiitttt lagi, nyemplung dah. Saya sampai harus merem karena khawatir nyemplung, apalagi beberapa kali ban agak selip dan egol egol. Nyawaku ada di tanganmu loh mas ojek. Langsung lega ketika menjejak tanah. Lalu saya menjadi tamu hotel pertama yang baru dibuka beberapa hari yang lalu. Langsung nyungsep ke bantal yang masih baru. Jadi inilah yang katanya teras depan Indonesia itu. Teras yang isinya dimonopoli barang tetangga. Oh nestapa ...

Salam dari Wita
Atha Ajo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar