Translate

Kamis, 03 April 2014

Ketika Tropis Bertemu Salju

"Ketika inovasi berubah menjadi boomerang, maka hilang sudah penasaran saya,".

Saya termasuk orang yang gemar menonton film. Aktivitas ini -bagi saya- tak hanya semata menonton film. Tapi sudah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Seperti perasaan saya terhadap sebuah buku yang menjadi candu, begitu pula dengan film. Bagi saya, menonton film tak cukup hanya di DVD player dan TV. Saya butuh suasana yang mendukung untuk menikmati adegan-adegan dan plot-plot yang dibuat oleh sutradara dan CS nya. Bahkan sampai kredit title'nya pun saya tonton. Jika anda memiliki hobi (benar-benar hobi dan bukan sekedar senang), maka anda tahu apa yang saya rasakan.  Mudahnya, jika anda hobi membaca, maka setidaknya anda memiliki banyak deret buku-buku di rak untuk dikoleksi.

Lalu saya mengharap, kapan kita orang Indonesia bisa bikin film action se-level holiwud. Sampai pada akhirnya kita dihentak dengan kemunculan film action Indonesia yang selama ini perfilman kita dimonopoli oleh film-film saduran novel dan horor lucu-lucu seronok. Ini yang saya tunggu-tunggu, meskipun sutradaranya bule. Ora popo. Cukup terkejut karena film yang dimainkan oleh Iko Uwais ini sukses besar. Katanya. Saya pun bangga ketika nonton film pertama yang juga dimainkan oleh Joe Taslim sebagai sersan Jaka. Uiiihhhh keren yaaa .. tapi saya lebih suka Mad Dog ala Yayan Ruhian. 

Kali kedua kelanjutan film ini dirilis, saya pun berharap banyak bawah filmnya pasti lebih bagus dan seru dari yang pertama. Apalagi yang kedua ini menuai banyak pujian di festival dan mendapatkan banhak review bagus. Suami saya yang anti film Indonesia (kecuali warkop) pun ikut mengiyakan ketika saya ajak nonton film ini. Ternyata suami saya juga bertanya pada mbah gugel tentang film yang disutradarai Gareth Evans ini. Semua review mengatakan bahwa film ini top dan layak ditonton. 

Memang benar film yang bertabur bintang top Indonesia ini menawarkan banyak inovasi yang patut diacungi jempol. Tapi namanya juga film, pasti banyak yang tidak sesuai dengan perkiraan. Bahkan film holiwud pun tidak luput dari bloopers. Banyak inovasi yang saya tonton di film ini termasuk karakter yang dimasukkan. 

Saya suka karakter si gadis palu ganda. Saya juga suka perkelahian di dalam mobil yang sedang melaju kencang. Soal adu head-to-head, saya lebih suka pertarungan antara Mad Dog dan Rama di film pertama. Selebihnya, ya cuma itu aja yang saya suka. Alur ceritanya? Wah bikin saya pusing untuk memahami plot demi plot. Terus terang saja, film yang menuai banyak pujian ini bagi saya kok masih sulit menandingi film yang pertama. Agak mengecewakan. Atau ekspektasi saya yang ketinggian ya. Saya enggak jenak menonton dari awal sampai akhir.

Sebagai penyuka film action, saya merasa bosan. Terlalu banyak prolog yang ditampilkan sehingga bag-big-bug'nya jadi enggak greget, itu kata suami saya. Ya memang benar. Saya sampai harus berpikir keras untuk mencari benang merah antar plot cerita. Yang saya tahu adalah film ini bercerita tentang seorang agen yang bertugas menyamar untuk memberantas ... itu yang saya bikin bingung. Memberantas kawanan mafia atau memberantas polisi korup. Mungkin penjelasannya nanti di film ketiga kali ya, kalo ada. Ah mungkin saya'nya aja yang bingung kali ya. Atau mungkin kalo ada cerita anak-istri Rama mendapat ancaman pembunuhan karena Rama ketahuan agen yang sedang menyamar akan menjadi motivasi yang kuat bagi Rama untuk menghabisi keluarga mafia itu.

Lalu munculah adegan yang membuat rasa penasaran saya hilang sama sekali dan digantikan dengan kantuk yang tak tergantikan. Saya meyakinkan diri bahwa setingan di adegan ini untuk mendramatisir suasana. Namun demikian, sebuah film juga membutuhkan setingan berdasarkan kenyataannya. Kecuali jika film itu semacam Stars Wars atau Upside Down yang menciptakan dunianya sendiri. Saya belum bisa menerima ketika setingan adegan ini memasukkan unsur hamparan salju dan rintikannya. Ah ada hujan salju di bagian dunia tropis. Saya mencoba mengira si sutradara ingin menunjukan bahwa perkelahian sedang terjadi di luar negeri dengan empat musimnya, bukan di Jakarta. Tapi itu tidak mungkin ketika ada latar belakang gerobak dorong dengan tulisan Lumie Ayam. Apa yang sebenarnya ingin ditunjukkan si sutradara? Hanya dia dan penulis cerita yang tahu. 

Tapi kurang lebih'nya, saya tetap mengapresiasi film ini. Setidaknya bukan film ecek-ecek seperti film yang lainnya yang bangga ketika memasang bintang porno. Bagi yang cinta mati sama film ini dan menutup mata-telinga untuk kritikan, silahkan tulisan ini dibuly. 


Salah hangat dari teras

Atha Ajo

 

  

  



    



 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar