Translate

Rabu, 09 April 2014

Dan saya bertemu Enrique Iglesias lokal : Menapaki Perbatasan Part 2

"Saya takjub bertemu Enrique Iglesias lokal"

Jalan-jalan saya kali ini terasa spesial. Bukan karena obyek wisatanya, tetapi karena sosial masyarakatnya. Obyek wisata yang mudah diakses hanya satu yakni pantai batu lamampu. Kata pak Camat ada beberapa akses menuju pantai ini. Kebetulan saya menggunakan jalan masuk yang setengahnya hanya bisa di akses sepeda motor. Thimik-thimik. Ya biasa saja. Cuma ada batu karang seperti pulau yang menonjol di bibir pantai. Kalau pasang, katanya batu itu ikutan naik. Enggak bisa berjemur, apalagi renang.

Luas Sebatik Indonesia yang tak lebih dari 250 Km persegi ini sekali jalan bisa ditempuh 3 jam. Setidaknya saya sudah setengah mengelilinginya dengan motor. Biasanya jika ke suatu daerah, saya akan takjub akan obyek wisatanya. Disini saya cukup takjub meski hanya menikmatinya diatas motor. Berbekal informasi dari penduduk lokal yang berdomisili di pusat keramaian Sebatik Indonesia, saya berkendara selama dua jam menuju air terjun tujuh tingkat Mantikas di desa Mantikas, sebatik barat. Sebetulnya ada dua air terjun yakni air terjun Mantikas dan air terjun Lampio. Hanya saja akses air terjun lampio sedang dalam perbaikan. 

Ternyata menuju air terjun Mantikas ini juga tidak mudah sodara-sodara. Akses jalan utama yang naik-naik ke puncak gunung dan mendadak turun terjal dengan kondisi aspal di beberapa bagian yang mengelupas dan berkerikil, membuat saya tak berani ngebut. Semakin sulit karena tidak ada petunjuk jalan. Apalagi penduduk di desa yang kami lewati ternyata juga tidak tahu dimana letak air terjun mantikas itu. Yah sudahlah, yang penting nekat. Dan kamipun menemukan desa mantikas. Baru deh penduduk sini tahu dimana letak air terjun mantikas itu. Salah satu wanita paruh baya menunjukkan jalan setapak menuju air terjun mantikas. Kami disuruh berhenti di depan sebuah rumah panggung. Dan katanya air terjun ada dibalik rumah itu. Horeeee dong bisa mandi mandiiii. 

Segera setelah memarkir motor didepan rumah panggung yang ditunjuk, saya langsung mencari tanda-tanda keberadaan air terjun. Oleh seorang bapak-bapak, air terjun mantikas memang berada di balik rumah panggung itu. Namun ada tetapinya .. untuk menuju kesana harus jalan kaki 2 km karena air terjunnya ada di balik bukit yang kebetulan bukitnya ada beberapa ratus meter di belakang rumah panggung itu. Dan gede bukitnya enggak main-main. Gelooooooooo ... ngemeng dari tadi. Dua kilometer dengan jalan yang terjal seperti itu butuh waktu pulang pergi lima jam. Yasudah batal. Sayapun balik badan. Meskipun batal menikmati air terjun tujuh tingkat, saya tetap merasa antusias dengan perjalanan kemari. Jarang-jarang saya lihat kebun kelapa sawit dari dekat. Pemandangannya juga cukup spektakuler dari atas. 

Berkendara menuju sebatik barat pun juga tidak kalah menantang. Puncak bukitnya lebih tinggi. Saking tingginya, saat berkendara ke puncak yang tertinggi, saya bisa melihat kota Tawau Malaysia di seberang pulau. Di desa sungai limau ini, saya bertemu etnis suku yang berbeda. Saya berasa sedang berada di Indonesia bagian timur. Nah usut punya usut warga disini merupakan pendatang dari flores. Dan disinilah saya bertemu dengan Enrique Iglesias lokal lengkap dengan tahi lalat di samping hidungnya. Kalo yang asli kan masih muda, nah yang ini sudah agak mature. Karena saya ngliat mas Enrique lokalnya sampai takjub, saya jadi dikedip-kedipin sama mata mas'nya yang sendu-sendu melo. Idiiiiihhh mas nya genit. Sayangnya saya enggak berani foto takut mas nya salah paham. Yah buktinya cukup di ingatan saya saja deh. Kalo dipoles, enggak jauh beda kok sama orang puerto rico. Pemandu kami yang masih muda dan penduduk setempat juga bernasib sama. Sak plinthengan mirip-mirip pemain sepakbola asal Portugal CR7 dengan versi kurus. Kalo siang kerja jadi kaur pemerintahan, sorenya sudah jadi anak muda gawul. Pulangnya saya dibawain mangga gede banget. Wahhh lumayan. 

Nah terus kalo para penduduk ini mau hiburan gimana dong. Enggak ada mall. Ya nggak usah nanya mall disini. Mereka bisa asik-asik sendiri. Enggak ada android juga nggak mati gaya, karena sinyal Indonesia susah di desa ini. Jika ke pusat keramaiannya, warga setempat juga cuma nongkrong di teras rumahnya sambil main kartu. Baru deh ada triping tekjing tekjing musik disco jika ada kawinan. Yang saya amati, setelah resepsi berlangsung, malamnya langsung ada disco opendoor. Heboh deh soundsystemnya. 

Nggak ada mall, mereka nggak bakal mati gaya. Dan sayapun menjelajah sepanjang 105 kilometer hari itu. Kalo pas berkunjung kesini, lebih baik sewa motor karena keindahan alamnya lebih nikmat jika dinikmati diatas motor. Kita bisa jelajah kemana saja, karena selain sepi, enggak ada lampu merah disini.  



Agak ser-ser'an pas melaju turun.



Salam 105 kilometer

Atha Ajo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar