Translate

Kamis, 13 Februari 2014

Balada Recehan



Jaman saya SD (era 90'an), uang seribu memiliki nilai yang tak terkira. Bayangkan saya bisa beli puluhan krip-krip karena satu buahnya hanya dihargai Rp25,-. Nah jaman sekarang, uang seribu tak ubahnya recehan untuk bayar parkir motor di pinggir jalan. Tak sedikit yang menyepelekan uang kertas bergambar Kapitan Pattimura yang kini tersedia versi logamnya. "Halah cuma seribu, bisa buat apa sih," kata orang yang kebetulan saya dengar celetukannya. Malah ada yang "menyumbangkan" seribu ke pengemis di pinggir jalan. Kalau saya mah ogah ngasih uang ke peminta-minta di jalanan. Bukan karena pelit, tapi karena kasunyatan bahwa pemasukan mereka dari meminta-minta ternyata lebih banyak dari UMP. 

Kalau seribu rupiah saja sudah menjadi nominal murah, lalu bagaimana dengan uang recehan logam yang lebih rendah nominalnya? Saya yakin, hanya sedikit orang yang mau "ngopeni" uang receh logam. Termasuk saya. Banyak yang penasaran ketika saya membawa sekantong kecil recehan dengan beragam nominal antara Rp100,- hingga Rp1000,-. "Ngapain sih bawa-bawa recehan gitu," kata saudara suatu kali. "Ya buat jaga-jaga kalau beli enggak ada kembalian receh. Kan saya bisa bayar pas,". Terkadang saya agak jengkel jika uang kembalian berupa permen. Atau jika uang kembalian yang nominalnya kecil itu diminta kasir untuk disumbangkan ke suatu tempat yang saya sendiri enggak tahu apakah benar disumbangkan atau tidak.

Bagi saya, mengumpulkan uang recehan baik dalam bentuk logam atau kertas itu sama baiknya dengan menabung dalam jumlah besar di bank. Tanpa disadari kebiasaan ini sejatinya ada untungnya juga. Saya jadi tak perlu repot marah-marah kepada si kasir jika tak ada uang kembalian. Toh uang receh jika dikumpulkan lama-lama nominalnya besar juga. Uang receh yang saya kumpulkan mungkin sudah hampir sejuta. Jika uang receh akan dimusnahkan, ya tinggal ke bank untuk ditukarkan. Bahkan kakak saya bisa membeli jam mahal yang harganya hampir sejuta gara-gara iseng mengumpulkan uang recehan. 

Ketika saya pulang kampung, disitulah uang recehan masih sangat dihargai. "Niki mung nyewu mbak, nek seng niki setunggal ewu gangsal atus," kata mbah-mbah yang menjajakan makanan ndeso di pasar ngasem Yogyakarta. Ada jagung yang dilumat membentuk bola-bola (saya lupa namanya) dihargai Rp1000,- per bungkus isi tiga (bonus satu bola). Lalu ada buntil godong telo yang dihargai Rp2500,- per bungkus. Jadi saya cukup menyerahkan uang seribu, dua ribu rupiah dan recehan Rp500,-. 

Makanan-makanan lain yang saya beli cukup bermodalkan uang recehan adalah sate endog gemak Rp1500,-, lekker (crepes) Rp800,- per biji, martabak ndeso Rp1000,-, klepon (4 biji) Rp1000,-, kipo (7 biji) Rp1000,-, cap jaek Rp1000, bihun ndeso Rp1000,-. Yang membuat saya gempar adalah pepes jamur yang dihargai hanya Rp1000,- per bungkus. Saya tidak bisa bayangkan untung yang didapat si bapak penjual pepes jamur. Njuk kulakane piroooooooo. Belum bahan baku yang terdiri dari jamur, tahu dan bumbu serta pembungkus daun pisang. Yang jelas si bapak begitu menghargai recehan yang ia dapat sebagai laba (terlepas dari apakah ada bahan kimia berbahaya di dalam olahannya atau tidak .. heee .. toh saya enggak mules setelah memakan itu). Semakin antusias ketika saya membeli sebungkus nasi lauk tempe-kecap-enak dan so'on seharga Rp2.500,-. Apalagi nasinya menul-menul panas. Oh indaaaaahhhhnyaaa sarapan pagi.              

Saya puas berbelanja dengan uang receh. Meskipun pada akhirnya uang yang dikeluarkan juga lumayan banyak karena saya cukup membabi buta untuk membeli ini itu. Sebetulnya cukup membeli nasi sebungkus plus cap jaek dan sate endog gemak hanya Rp5000,-. Tapi belanja ini-itunya yang bikin costly. Pada akhirnya, kebiasaan mengumpulkan uang recehan setidaknya membantu saya untuk lebih menghargai uang. Toh recehan tetaplah alat yang bisa digunakan untuk membeli sesuatu. Masak iya bayar parkir cuma Rp3.500,- pake uang lima puluh ribu seperti mas-mas yang pake mobil mewah di depan saya dan bikin lama buat kasih uang kembalian. ("Eh .. suka-suka saya dong mau bayar pake apa. Masalah buat loe .." ngayal kata mas'nya ngejawab sindiran batin saya .. gelooooo).

Meski tak bisa dipungkiri bahwa di beberapa tempat yang berbiaya hidup tinggi, uang receh tak ada ajinya. Tapi uang receh tetap alat tukar yang suatu saat dibutuhkan. Memang ribet bawa uang receh di kantong atau tas, tapi enggak mungkin kan kita belanja di pasar atau warung kecil pake kartu debit atau kartu kredit. Terlepas dari ribet atau enggak, saya sudah pasti menyediakan sekantong uang receh versi logam dan kertas. Sekedar untuk jaga-jaga dan sudah pasti akan berguna jika saya sedang bepergian. Tak perlu banyak, tapi cukup untuk mendampingi sejumlah uang besar yang tersimpan di dompet lain. 

Soooo .. hidup uang receh. Sejuta bukanlah sejuta jika kurang seratus rupiah.


Di antara lautan recehan ala Gober Bebek


Atha Ajo          

  










Tidak ada komentar:

Posting Komentar